Senin, 10 Juni 2013

Wisata Sex

  1. Ah sial banget, kenapa kereta commuter jabotabek sekarang gak berhenti di stasiun Senen, padahal aku mau naik kereta keluar kota dari stasiun Senen. Dari Stasiun Kemayoran aku terpaksa menggunakan ojek ke stasiun Senen.

    Sesampai di Senen temanku John sudah menunggu di sana. Kami berdua sudah janjian ketemu di stasiun Senen untuk memulai perjalanan gila-gilaan, bukan mendaki gunung, menelusuri gua atau backpacker, tapi wisata kampung yang rada ngesex.

    Masih ada waktu sekitar setengah jam. Kami duduk-duduk bengong aja, karena kebetulan kami berdua bukan perokok. Belum sampai setengah jam muncul rangkaian Matarmaja yang akan membawa kami ke Timur.

    Aku dan john memilih naik kereta api karena lebih praktis, lebih cepat dan lebih murah, kalau naik bus bisa 4 jam baru sampai, bawa mobil pribadi, risiko nyasar lebih besar meski ada GPS. Tujuan kami adalah stasiun kecil Pegaden Baru di wilayah Subang.

    Fantastis, tidak sampai 2 jam stasiun kecil Pegaden Baru telah kami injak. Puluhan tukang ojek seolah berebut penumpang yang tidak seberapa turun di stasiun kecil itu. Aku maupun John baru pertama kali menginjakkan kaki di stasiun itu, juga tidak punya kenalan di situ seorang pun. Padahal kami kalau ditanya tukang ojek mau kemana, kami tidak bisa menyebutkan, karena tujuan kami memang khas, yaitu rumah yang bisa kami inapi tapi ada selimut hidupnya. Nah kan susah.

    Kuajak John ke luar stasiun sambil berkali-kali menampik tawaran tukang ojek. Kami berdua ngopi di warung di luar stasiun. Rupanya ada tukang ojek yang penasaran mengikuti kami menawarkan jasa ojeknya. Mereka ada 2 orang. Mungkin mereka berharap bisa mnejaring kami berdua menggunakan jasanya.

    “ Bos mau kemana, bos” tanya salah satu tukang ojek yang kutaksir berusia sekitar pertengahan 30 tahunan.

    “Belum tau mau kemana,” jawabku singkat untuk memancing reaksi mereka. Kira-kira apa yang akan mereka katakan kalau aku mengatakan begitu.

    “Bos mau cari janda,” tanyanya agak menyelidik.

    “Emang ada,” tanyaku sekenanya

    “Banyak bos,” katanya.

    “Emangnya ada yang bagus ,” tanyaku rada cuek

    “Mantap-mantap bos “ katanya sambil mengacungkan jempolnya.

    ”Mantapnya kayak apa, ada berapa,” tanya John.

    “Aduh saya gak punya fotonya , orang HP saya jadul sih bos.,” katanya seperti rada kesal.

    “ Kenal berapa orang,” tanya ku.

    Si tukang ojek kemudian sambil menerawang pandangannya menyebut nama-nama.

    Lumayan banyak juga nama-nama yang disebutkan.

    Dia lalu menawarkan salah satu dari nama-nama itu. “ Bos maunya yang gimana ,” tanyanya.

    “Yang rada sekel, buntelannya gede umurnya sekitar 20 -30, mukanya cantik,” tanya ku.

    “Kalau si bos,” tanya tukang ojek menunjuk John.

    “Ya sama lah,” kata John.

    Dua tukang ojek itu lalu berunding.

    “Ada bos,” kata tukang ojek yang kelihatannya lebih senior.

    Kami lalu tawar-menawar uang jasa mreka.

    “Pokoknya sampai bos dapat yang cocok lah,” katanya.

    Menurutku harga yang ditawarkan itu agak mahal, tapi karena dia menjamin sampai kami dapat yang cocok akhirnya kami setuju.

    Dengan gesit tukang ojek itu menulusuri jalan desa, dan menembus perkebunan tebu. Kami akhirnya berhenti di depan sebuah warung dan si tukang ojek mempersilakan kami istirahat dulu di situ sambil dia mau menemui calon yang akan kami “ pakai”.

    Aku dan John rada celingukan juga, sore-sore berada di daerah yang sama sekali belum kami kenal. Keramahan pemilik warung mempersilakan kami masuk ke dalam, mencairkan suasana kekakuan. Aku numpang ke toilet dan memesan minuman dingin. Sekitar setengah jam muncul si tukang ojek. Dia menawarkan “barang2” yang yang tersedia sambil menyebutkan ciri-2nya.

    Aku memilih yang disebut namanya Dedeh, dan John memilih Titin. Kedua tukang ojek itu langsung balik dan tancap gas lagi.

    Sambil menunggu tukang ojek balik aku ngobrol sama pemilik warung , seeorang bapak-bapak yang kutaksir berusia 50 an. Dia mengatakan bahwa di kampung Saradan ini sudah biasa menerima tamu dari luar untuk menginap. Di dekat warungnya juga ada beberapa rumah yang bisa menerima tamu menginap. Mereka tidak hanya yang berumur setengah tua (STW) tetapi ada juga yang masih tergolong abg. Aku jadi rada menyesal memesan STW dari tukang ojek tadi. Tapi apa boleh buat, bagi kami berdua yang buta sama sekali mengenai daerah ini, ya harus mau menerima apa yang bisa kami dapat dulu.

    Tidak berapa lama muncul 3 anak abg ke warung si bapak, anaknya lumayan manis, kutaksir umurnya masih sekitar 15 an. Si Bapak menggiring mereka untuk menyalami kami. Setelah menyebut namanya masing masing mereka berlalu dan menghilang dari pandangan kami.

    Aku jadi kehilangan minat pada pesananku dari si tukang ojek tadi, karena ke 3 abg tadi manis-manis . Tapi masih ada waktu lah, paling tidak kami bisa menambah tinggal di desa ini 1 malam lagi jadi total 2 malam. Aku berjanji ke Bapak pemilik warung, besok aku akan kembali ke warung dan akan memesan ABG itu tadi. Jadi di kampung yang sepi dan jarang terdengar raungan mesin kendaraan bermotor, kecuali sepeda motor, aku melakukan booking.

    Tidak lama kemudian muncul situkang ojek dengan boncengannya masing-masing. Eh lumayan juga, bodynya menarik. Keduanya kualitasnya dapat dikatakan sama, antara Dedeh dan Tititn. Misalnya di acak aku gak keberatan dapat yang mana pun.

    Kutaksir mereka berdua belum sampai berusia 30 tahun mungkin baru sekitar 25-an lah. Kami bersalaman, Dedeh diatur tukang ojek duduk di sampingku dan Titin duduk di samping John. Keduanya janda. Mereka dengan gaya malu gadis desa mengatakan bisa menerima kami menginap di rumah mereka masing-masing. Kebetulan rumah mereka berdua berdekatan.

    Sifat serakah yang ada di otakku lalu berproses. Aku sebetulnya ingin mencicipi keduanya, lalu John ku kirimin sms menawarkan kalau nanti sudah puas dengan pasangannya kita bertukar. John pikiran di otaknya ternyata sama dengan aku, dia langsung jawab singkat ”setuju”.

    Waduh, gimana ngomongnya ke Dedeh dan Titin. “ Teh boleh gak nanti malam saya pindah,” tanya ku ke Dedeh.

    “Ha. pindah kemana atuh,” tanyanya heran.

    “Pindah ke rumah Titin, dan temen saya pindah kerumah Teteh,”

    “Oh begitu, mangga atuh,”

    Setelah terjadi kesepakatan akhirnya kedua mereka dibawa lagi sama si tukang ojek pulang kerumahnya baru membawa kami ke rumah.

    “Gimana bos, mau nginap sebulan di sini tiap hari ganti-ganti saya siap mengantar bos, gak bakal habis stoknya bos,” kata si tukang ojek sambil senyum-senyum menerima uang sebagai ongkosnya.

    Rumah Dedeh sangat sederhana, rumahnya separuh tembok separuh papan. Hanya ada 2 kamar tidur. Dia di situ tinggal bersama ibunya yang sudah tua. Mereka 3 bersaudara. Dedeh anak bungsu kedua yang lebih tua adalah laki-laki merantau berkerja di jakarta. Jadi Dedeh yang statusnya janda tanpa anak bertugas merawat ibunya yang sudah tua.

    Aku memberikan uang dimuka seperti yang disebutkan tukang ojek di warung tadi. Aku bermaksud dengan uang itu dia nanti malam bisa menyediakan makan malam ala kadarnya. Seteleh menerima uang dia mambuatkan aku teh manis panas lalu masuk kebelakang rumah agak lama baru muncul .

    Di duduk disampingku dan menawarkan mandi, karena hari memang sudah mulai agak gelap. “Akang mau saya mandiin,” dia melontarkan tawaran yang langsung membuat juniorku bangkit.

    Tawaran yang tidak mungkin aku tolak. Si Dedeh bangkit dan memberikan sarung dan mengajakku masuk kamar untuk mengganti bajuku dengan sarung. Dia juga begitu, dengan santainya dia membuka semua bajunya dan bertelanjang bulat di depanku lalu mengenakan sarung berkemben. Bodynya memang menarik, meski made in desa.

    Kami berdua masuk ke kamar mandi yang hanya terdapat ember dan pompa tangan. Air di ember sudah penuh. Dedeh membuka sarungnya sehingga dia bertelanjang bulat di depanku. Aku membuka sarungku yang masih ada celana dalam lagi di dalamnya. Dengan sigap Dedeh memuka celana dalamku. Mecuatlah batangku yang sudah cukup keras. Dengan nakalnya Dedeh jongkok di depan batangku dan langsung mengulumnya. Aku menggelinjang nikmat. Meski pun made in desa, tapi kulumannya luar biasa. Aku tidak mampu bertahan lama sampai akhirnya ejakulasi di dalam mulutnya. Hebatnya dia langsung menenlan semua sperma ku. Aku yang tidak bisa menahan rasa geli luar biasa di kepala penisku. Rasanya agak ngilu pasca ejakulasi kepala penis terkena jilatan Dedeh. Dedeh seperti tidak rela ada setetes yang tercecer.

    Badanku terasa agak lemas. Dedeh seperti sudah mahir langsung menciduk air dan mengguyur badanku lalu mengguyur badannya sendiri. Diambilnya tangan sabun lux yang wangi dan sekujur tubuhku di sabuni. Dibagian penis dia bekerja agak lama dengan gerakan mengocok, batangku yang lemas. Sampai lubang pantatkua dia ceboki sampai bersih. Aku dimintanya menyabuni tubuhnya yang bahenol.

    Kupeluk dia dari belakang dan penisku yang masih kuyu aku tekankan ke belahan pantatnya yang gempal. Sambil kedua tanganku meremas payudaranya yang lumayan menggumpal kenyal.

    Nafsuku jadi bangkit lagi. Pelan-pelan barangku bangkit lagi.

    Dedeh lalu mengguyur badannya dan badanku juga sampai semua sabun luruh. Dia mengambil handuk dan menghandukiku, lalu dirinya menggunakan handuk yang sama mengeringkan badannya. Aku hanya menggunakan sarung bertelanjang dada, sedangkan Dedeh menggunakan kemben menggandengku masuk ke kamar.

    Aku dibaringkan dan sarungku dipelorot. Sementara Dedeh sudah bugil. Aku pasif tidur telentang dengan pasrah dan membiarkan Dedeh mengeluarkan seluruh ilmu yang dimilikinya.

    Dia memulai dengan kembali mengulum penisku, menjilati buah zakarku dan mengulumnya juga lalu menjilati lubang pantatku yang memberikan sensasi geli dan nikmat. Pelan-pelan penisku mulai membesar di dalam mulut Dedeh yang sangat piawai.

    Dia menduduki penisku dan mulai mengayuh dirinya diatas diriku. Terasa sekali ketika dia mencari posisi yang dia rasakan paling nikmat. Dia mulai bersuara mengerang-ngerang ketika posisi nikmatnya mulai ditemukan. Tidak sampai 5 menit dia ambruk dengan nafas terengah-engah. Sementara aku masih jauh dari garis finish.

    Aku membalikkan posisi, dan mulai mengenjot dengan posisi missionaris. Aku juga mencari posisiku yang paling nikmat sambil berlama-lama menekan dan menggesek bagian clitorisnya dengan jembutku. Lalu memompa lagi. Dedeh mulai mengerang lagi dan akhirnya menjerit panjang dan memelukku. Terasa sekali lubang vaginanya berkedut-kedut. Aku berhenti sementara untuk membiarkan dia mencapai orgasmenya.

    Setelah kedutan itu tidak aku rasakan aku kembali menggenjot. Kali ini dengan gerakan kasar dan cepat, karena aku sebetulnya sudah agak lelah sehingga ingin segera ejakulasi. Tetapi bukan aku yang mencapai puncak si Dedeh sudah mendahului. Aku terpaksa berhenti lagi. Mood ku yang tadi hampir dapat sekarang hilang lagi. Aku mulai lelah. Aku membalikkan posisi sehingga WOT. Dedeh sebenarnya sudah lemas, tapi dia berusaha memuaskanku dan mengikuti kemauanku. Dia menindihku dan aku yang aktif bergerak. Rasa nikmat mulai menjalari tubuhku sehingga aku kemudian mencapai puncak dan semua sperma kulepas di dalam memeknya.

    Badanku terasa lelah demikian juga mungkin dedeh karena itu kami berdua tertidur dalam keadaan bugil. Mungkin ada sekitar 1 jam kami teridur dan terbangun karena mendengar ada suara John di luar dan suara Titin.

    Kami berdua tergesa-gesa bangun. Aku mengenakan sarung tanpa celana dalam dan kaus oblong. Dedeh mgnenakan baju kaya sweater dengan sarung dan tanpa celana dalam juga. Perut mulai terasa lapar. Ketiak kami keluar Titin dan John tersenyum-senyum melihat kami keluar bersamaan dari kamar. Kulirik meja makan, ternyata makanan sudah siap terhidang. Ada sambal, sayur asem, tempe goreng, ayam goreng dan tumis kangkung, Kuajak sekalian John dan Titin makan. Mulanya Titin malu, tetapi akhirnya kami makan bersama.

    Sambil makan aku mengorek keterangan Titin. Dia masih punya suami, tetapi kerja di Jakarta. Suaminya tahu kalau dia juga sering menerima tamu di rumah. Karena di desa Saradan ini perbuatan seperti itu sudah biasa, jadi suaminya pun bisa menerima. “Itung-itung untuk tambah uang belanja,” kata Titin.

    Seperti kesepakatan semula akhirnya aku dengan barang-barangku pindah ke rumah Titin. Jaraknya tidak telalu jauh. Jam 9 malam ini kami berdua jalan menelusuri jalan desa. Jaraknya tidak terlalu jauh sekitar 500 m, tetapi meliuk-liuk masuk gang.

    Rumah Titin kelihatan dari luar agak besar. Rumahnya tembok, tetapi masih belum diplester. Aku masuk ke ruang dalam. Ruang tamu sederhana, ada amben, atau disebut juga bale-bale. Titin mempersilakan aku duduk. Dia menawarkan kopi untuk menyegarkan.

    Tawaran itu tentu saja aku terima, karena aku harus bersiap pertempuran malam ini dengan Titin. Titin perawakannya tidak terlalu gemuk, badannya singset, baru punya anak 1 berumur 2 tahun. Umurnya kutaksir masih sekitar 20 tahun.

    Body seperti Titin, biasanya barangnya sempit dan enak. Itu pengalaman aku sering tiarap ke mana-mana. Dia lebih renyah bergaul, omongannya banyak. Ditengah ngobrol muncul seorang gadis menghidangkan kopi. “ Ini adik saya, tinggal disini ngawani, abis sendirian” kata Titin mengenalkan adiknya yang menyalamiku malu-malu. Celakanya tanganku ditarik dan diciumnya seperti layaknya salim antara santri dengan udztadnya.

    Aku segera menarik tanganku, gak enaklah, tapi sudah sempat tercium juga. Dia memperkenalkan dirinya dengan nama Neneng, umurnya kutaksir sekitar 17 tahun. Masih terlihat belia, meski dalam kesederhanaan kampung.

    Setelah menghidangkan kopi dia mundur ke belakang dan masuk kamar. Aku menanyakan ke Titin. “ Nanti kalau kita masuk kamar, adikmu gimana,” tanyaku.

    “Ah ya biasa aja, tadi temannya kan sudah disini, di sini mah gituan udah biasa oom,” katanya.

    “Emangnya oom minat sama adik saya,” Titin mulai membuka peluang.

    “Kalau saya mau emang dia bisa,” tanyaku penuh harap.

    “Ya bisalah, kan dia jug ada lobangnya,” kata Titin sambil bergurau.

    “Bukan gitu, emangnya dia udah gak perawan lagi,” tanyaku.

    “Kupingnya yang perawan, dia juga bisa terima tamu kok,” kata Titin.

    “Gimana oom minat ya,” tanya Titin dengan pandangan mata genit.

    “Minat sih, tapi sama tetehnya juga minat, gimana ya,” tanyaku sambil rada cemas.

    “Ya gak apa-apa, nanti kita main bertiga di kamar saya,” kata Titin enteng.

    Titin lalu berteriak memanggil nama Neneng. Yang dipanggil keluar sambil mengucek matanya.

    “Tadi temen saya main sama Neng juga,” tanyaku sama Titin.

    “Enggak sih Titin tadi pergi entah kemana nglayap sama temen-temennya.” Kata Titin.

    Sambil makan singkong rebus dan kopi tubruk kami ngobrol bertiga.

    Setelah agak larut, kami bertiga menuju kamar mandi untuk saling membersihkan diri dan membuang desakan air seni (kok air seni ya, seninya dimana) aku diberi sarung dan handuk, Mereka berdua masuk kamar dan keluarnya sudah berkemben kain sarung pula.

    Di kamar mandi yang agak remang-remang mereka berdua dengan santainya membuka kemben yang ternyata dibaliknya tidak ada bh dan celana dalam. Titin jembutnya normal aja agak jarang sedikitlah, Kalau sih Neng bulunya baru sedikit banget. Sehingga cembungan memeknya kelihatan jelas. Mereka kencing dengan suara berdesir lalu mengambil air di ember untuk membersihkan diri. Aku melepas sarung dan membuka celana dalamku. Belum aku beraksi Neneng dan Titin sudah menyambut senjataku yang belum siap bertempur dengan menyiram air dan menyabuninya. Seperti juga Dedeh aku disabuni sampai ke lubang-lubang pantat.

    Mereka kembali mengenakan kemben dan tidak mengenakan apa-apa lagi di dalamnya . Aku pun tidak memakai celana dalamku dengan hanya bersarung saja kami bertiga masuk ke kamar Titin.

    Kasurnya digelar dibawah , dan kelihatannya jika ditiduri bertiga agak sempit mungkin ukuran 160.

    Aku dengan percaya diri membuka kaus oblong dan tidur hanya dengan bersarung. Mereka bertiga pun begitu. Titin di kananku, dan Neneng di kiriku. Keduanya langsung aktif seperti tentara terlatih. Titin mengangkat sarungku dan langsung menangkap burung di dalamnya. Diremas-remas sebentar lalu dikocok ringan. Aku menurunkan sarung Neneng sehingga terlihat teteknya yang masih tidak terlalu besar dan pentilnya pun kecil sekali. Aku jilati teteknya, dan di bawah sana penisku dan sekitarnya sudah mulai dilomoti Titin.

    Aku malam ini harus menghadapi dua musuh, padahal amunisi dan tenaga sudah banyak terkuras. Perlu ada taktik untuk memenangkan peperangan. Puas menciumi dan meraba tetek kecil, tanganku menggerayang ke selangkangan Neneng. Gundukan mentul dan masih sedikit bulu terasa. Jari tengahku mencari jalan sendiri sampai menemukan tonjolan kecil daging penutup clitoris. Dengan segera dan lincah jariku bermain di clitorisnya. Neneng mengelinjang jika tanganku menyentuh ujung clitorisnya.

    Tanpa sepengetahuan pemiliknya dengan cara yang tersamar aku membaui tanganku yang berlendir dari kemaluan Neneng. Tidak tercium ada bau. Berarti dia bersih. Kuarahkan Neneng untuk menggantikan kerja si Titin dan Titin kutarik keatas. Untuk ku hisap teteknya. Neneng cukup mahir juga memainkan kebanggaanku, meski tidak sepiawai kakaknya.

    Berikutnya giliran si Titin aku eksplor memeknya. Sudah agak berlendir. Seperti tadi aku curi-curi mencium lendir si Titin yang tertinggal di tanganku. Baunya tidak ada alias enak-enak aja. Senjataku sudah dikulum dua wanita kakak beradik, tetapi masih mampu bertahan. Mungkin sudah agak imum karena pertempuran dengan si Dedeh tadi.

    Aku menarik Titin untuk mengambil posisi WOT. Dia segera menyarangkan burungku ke lubang kebahagiaannya. Tebakanku tidak meleset. Terasa ketat betul lubang memek si Titin, setiap gerakan terasa menyedot penisku. Seandainya ini adalah pertempuran pertama, aku bakal bobo pada gerakan sepuluh langkah. Untung aku bisa bertahan. Titin menemukan posisi nikmatnya sehingga dia akhirnya mencapai orgasme. Aku sebenarnya hampir terlarut dengan suasana menjelang Titin orgasme tadi, karena dia mengerang dan gerakannya buas sekali. Dia seolah tidak perduli ada adik di sebelahnya yang menyaksikan.

    Titin ambruk menindih tubuhku dengan nafas terengah-engah. Terasa sekali lubang memeknya berkontraksi dengan iriama orgasme. Setelah dia menuntaskan nikmatnya Titin turun dan berbaring di sampingku. Aku meminta Neneng menggantikan tugas kakaknya . Dia segera mengerti lalu memandu penisku memasukkan memek yang nyaris gundul.

    Neneng bergerak-gerak diatasku, tetapi dia tampaknya tidak mengetahui posisi enaknya. Aku harus menuntunnya. Dengan berbagai gerakku, akhirnya ketemu juga posisi terenak itu. Aku menjadi semakin yakin karena Neneng mulai menggumam melampiaskan kenikmatannya. Anak seumuran Neneng umumnya agak susah mencapai orgasme, makanya dia cukup lama sampai akhirnya ambruk berorgasme. Memeknya memang agak sempit, tapi, jika aku masih lebih legit kakaknya punya.

    Dua orang tumbang dalam pertempuran ini. Si Titin rupanya sudah ngorok disampingku. Titin kubaringkan dan aku mengenjotnya lagi. Badanku yang agak lelah mempengaruhi mood juga, sehingga aku sulit mencapai puncak gunung tertinggi meski sudah main cukup lama. Kelihatannya si Neng sempat mendapat O sekali lagi dalam perjalanan aku menindihnya.

    Rasanya aku bakal sulit tidur kalau tidak berejakulasi. Sementara main dengan Neng agak susah aku mencapainya. Tanpa memperdulikan Titin yang tertidur nyenyak, aku jebloskan pelan-pelan batangku yang masih lumayan keras.

    Dalam permaian kali ini aku tidak perduli apakan Titin mencapai orgasme atau tidak, yang penting aku bisa keluar dan hendaknya jangan lama-lama. Titin terbangun ketika aku mulai menggenjotnya. Dia agak ngantuk tetapi membalas gerakanku juga. Memeknya memang benar-benar nikmat. Aku konsentrasi penuh dan akhirnya badanku mulai meremang dan aku semakin kosentrasi sampai akhirnya lepas juga spermaku di dalam memeknya. Rupanya kedudtan orgasmeku membuat Titin juga berorgasme sehingga dia peluk tubuhku kuat kuat. “ Oom yang ini enak banget, saya sampai lemes.

    Kulirik si Neng sudah mendengkur halus. Aku pun sudah mencapai titik lelah yang tertinggi sehingga tanpa perduli keadaan aku tidur diantara mereka.

    Aku tidak terlalu sadar, tetapi kelihatannya sudah agak pagi. Terasa penisku dingin. Kulirik ke bawah Titin sedang membersihkan seluruh bagian kemaluanku dengan handuk kecil basah. Setelah itu dia tutupi tubuhku dengan sarung. Dia sendiri masih menggunakan kemben. Si Neng sudah tidak ada di tempatnya.

    Aku pura-pura tidur saja, tapi rada susah juga karena sudah terganggu. Akhirnya sekitar matahari sudah mulai muncul di ufuk timur Aku bangun dengan hanya mengenakan sarung tanpa daleman dan kaus oblong.

    Aku duduk diruang tamu. Tidak lama kemudian Neng membawa segelas kopi tubruk.

    “oom mau sarapan apa,” tanya si Titin.

    “Apa sajalah yang tidak terlalu repot” kataku.

    “Kalau mau Indomie, warungnya belum buka, dirumah Cuma ada nasi sama ikan asin sisa semalam” kata Titin.

    “Ya udah bikin nasi goreng ikan asin aja,” kataku.

    “gimana itu oom, saya nggak tau,” ujar Titin.

    Aku akhirnya turun tangan membuat nasi goreng cabe hijau dengan ikan asin. Kami bertiga menikmati nasi goreng hijau. Aku dipujinya pintar memasak.

    Selesai menikmati sarapan kami lalu bersepakat mandi pagi bersama-sama. Pada mandi pagi itu aku sudah kehilangan gairah, jadi meski mandi bareng dan berbugil ria, tapi aku kurang terangsang. Sehingga mandi pagi itu lancar-lancar saja.

    Aku berpakaian seperti semula, celana jeans dan kaus oblong.

    Suasana cerah sekali, kopi masih setengah gelas dan sudah kehilangan panasnya. Tapi aku tidak masalah, tetap saja menyukai kopi yang sudah tidak hangat lagi.

    Aku mendengar ada suara mengobrol yang agaknya aku kenal. Benar saja John dan Dedeh muncul di pintu. Keduanya tampak segar. Memang mereka baru selesai mandi kelihatannya. Kami bergabung di ruang tamu dan mengobrol panjang lebar.

    Neneng aku pancing-pancing mengenai lingkungannya di desa. Dia nyrocos aja bahwa banyak temannya yang masih sekolah SMP sudah bisa terima tamu di rumah. Kedua orang tuanya merelakan saja anaknya menerima tamu dan menginap di kamar. Informasi yang dibeberkan tanpa bumbu berlebihan, malah diomongkan seperti tanpa beban, membuat aku dan juga John ternganga-nganga.

    Saya membujuk si Neng untuk mengundang teman-temennya yang masih belia, dan sudah menerima tamu di rumahnya. Tanpa menunggu lama, dia langsung berlalu . Kami berempat ngrobrol menganai berbagai hal. Tapi aku fokus mengorek keterangan berbagai informasi mengenai keterbukaan sex di desa yang jauh dari keramaian ini.

    Sayang si Titin dan Dedeh tidak bisa menceritakan sejarahnya mengapa desa terpencil gini bisa punya adat membebaskan orang berbuat sex di rumah tanpa ada rasa malu. Saya kira kalau hanya alasan uang mereka pasti merantau ke kota besar untuk menjadi PSK.

    Baik Titin maupun Dedeh beralasan takut merantau karena mereka merasa ngeri jika digrebek atau ditangkap petugas. “Ya mending di rumah aja oom, dapatnya gak banyak juga gak apa-apa, yang penting aman.

    Sekitar 2 jam setelah Neneng pergi tadi, dia sudah kembali dengan rombongan. Ada 5 orang temennya bersamanya. Wajahnya malu-malu, tetapi semuanya kelihatan masih sangat belia. Aku taksir usianya baru sekitar 12 – 14 tahun. Aku tidak percaya dengan pandangan mataku sendiri. Anak-anak semuda ini sudah diumbar orang tuanya untuk berbuat sex bebas.

    Memang tidak semuanya berwajah cantik atau manis, tetapi kepolosan dari wajah kebeliaannya sangat menonjol. Dandanan mereka sangat sederhana khas wanita desa.

    Aku penasaran juga ingin mencicipi mereka, tetapi melawan kelimanya mana mungkin aku bisa. Sayang juga melepaskan mereka begitu saja. Otak fotografer langsung konek. Aku menawarkan mereka untuk mau aku foto dalam keadaan bugil. Aku menjanjikan memberi uang yang untuk ukaran di desa ini sangat lumayan. Mulanya mereka malu, tetapi jumlah uang yang aku iming-imingkan itu menggoda mereka untuk menerimanya. “Foto-foto doang Oom, “ tanya salah seorang dari mereka yang kelihatannya paling tua.

    Aku jawab benar, hanya foto-foto saja, tempatnya ya di rumah ini dan di halaman belakang rumah. Rumah si Titin kebetulan agak memisah dari tetangga dan dibatasi oleh kerimbunan semak yang merupakan pagar hidup.

    Mereka berlima langsung saling pandang dan tertawa malu sambil menutupkan tangannya ke mulut.

    Titin dan Dedeh dengan bahasa setempat membantu aku agar mereka mau saja menerima tawaranku. Kata dia uang segitu lumayan, Cuma difoto-foto doang paling juga gak lama. Titin akhirnya menggiring kelima anak itu masuk kamar untuk melepas semua pakaiannya. Tidak lama kemudian dia keluar dan menutup pintu depan. Ruangan menjadi agak redup, aku membuka semua jendela dan menutup sedikit kordijnnya.

    Neneng merajuk, dia juga ingin difoto karena ingin dapat duit lagi. Aku setuju saja, Dia kemudian berlari masuk kamar di tempat anak-anak tadi. “Oom kalau kita-kita boleh juga enggak difoto,” tanya Dedeh. “ Lumayan oom untuk tambah-tambah,” sambungnya lagi.

    Aku langsung memikirkan skenarionya. “ ok,” kataku.

    Dedeh dan Titin ikut masuk kamar untuk melepas baju.

    John memprotes aku, kata dia biayanya lumayan besar, cukup untuk “tiarap” dua malam lagi.

    Tapi aku bilang, tenang aja, “ente gak usah keluar uang, gua aja yang bayar semua,”

    Pintu kamar terbuka. Diawali dengan si Neneng keluar sambil masih berusaha menutup teteknya dan memeknya, yang lain juga jadi ikut-ikutan begitu. Terakhir si Titin dan Dedeh tanpa canggung keluar dengan telanjang bulat dan tidak menutupi auratnya

    Aku lalu mengatur posisi 8 orang itu. Pertama-tama aku mengambil mereka dengan foto bersama berjajar, berkali-kali. Setelah itu aku mengatur posisi masing-masing seperti sedang melakukan kesibukan di rumah. Dia bale-bale mereka yang masih belia aku suruh duduk sambil membuka selangkangannya. Mereka masih belum berjembut semua Berbagai posisi aku ambil dan secara bergantian aku ambil satu persatu dengan berbagai gaya sampai pada close up memeknya dan teteknya.

    Setelah itu dua perempuan yang sudah dewasa juga aku shoot dengan berbagai posisi sampai close up memeknya masih-masing.

    Dari ruang tamu aku arahkan bergerak ke arah dapur. Meski dapurnya sempit, tetapi karena ada akses pintu ke belakang, dan ketika dibuka lumayan memberi cahaya masuk dan aku bisa membidik kamera dengan berbagai angel. Ternyata di belakang rumah ada halaman yang tidak seberapa tetapi bersih dan ada pula sumur di situ. Mereka lalu aku arahkan ke halaman belakang berbagai gaya dan tampak latar belakang rumah pedesaan yang sederhana. Dibelakang rumah Titin, ternyata perkebunan tebu. Agak semak memang, aku membersihkan beberapa semak sehingga kelihatan tidak terlalu banyak daun tebu kering. Mereka pun aku atur berpose di seputaran kebun Tebu. Jadi Foto-foto itu sangat asri karena diantaranya ada juga di dekat kandang kambing, kandang ayam, sumur dan ada pula dangau di tengah kebun tebu.

    Aku akhirnya lelah juga karena acara foto-fotoan telanjang hampir 2 jam juga. Memori card berkapasitas 8 G hampir penuh, padahal masing-masing image 5 mega.

    Untung masih telintas diotakku foto0 mereka setengah telanjang. Mereka kuminta membawa pakaiannya ke belakang karena aku akan memfoto mereka dengan hanya mengenakan celana dalam , dengan kutang dan baju yang masih memperlihatkan aurat mereka sedikit di sekitar sumur.

    Akhirnya tuntas sudah memori 8 giga penuh. Tidak semuanya foto, setengahnya adalah video.

    aku menguraikan berkunjung ke desa yang penduduknya terbuka menerima tamu dari lain daerah untuk menginap dirumah bersama wanita, yang itu bisa saja janda, istri, ataupun anak, dari yang menempati rumah itu. Cerita bagian pertama diakhiri dengan sesi foto-foto telanjang terhadap 5 anak remaja yang terhitung masih di bawah umur dan 2 wanita dewasa.Foto -foto berlangsung di rumah Titin yang malam sebelumnya menemaniku tidur bersama adiknya Neneng yang masih remaja.

  2. John berbisik bahwa masih ada peluang bermalam dengan anak belia seperti yang ditunukkan pemilik warung tempat kami istirahat ketika tiba di kampung ini kemari. Menurut John anak yang diperkenalkan itu lumayan manis.

    Gara-gara ingin mencoba yang lain akhirnya kami pamitan dan berpisah dengan anak-anak yang tadi aku jadikan model dadakan.

    Aku dan John diantar Dedeh kembali ke warung tempat kami pertama kali bertemu. Si penjaga warung masih ingat kami. Kami baru tahu kalau pemilik warung itu namanya Pak Rawi. Aku tanpa basa basi menanyakan mengenai cewek-cewk abg kemarin yang ditawarkan kepada kami. Dengan gaya kalem, Pak Rawi mengatakan, gampang bos, nanti saya kerumahnya dulu.

    Berhubung matahari mulai tinggi dan perut sudah mulai menuntut, aku tanya ke Dedeh apakah ada warung makan di sekitar sini. Dia menyebutkan nama warung yang katanya bisa jalan kaki saja ke sana. Aku pamit ke Pak Rawi mau makan siang dulu. Kami bertiga jalan beriringan di jalan desa yang agak berdebu.

    Warung makan yang tidak besar, hanya ada dua baris meja dengan bangku-bangku panjang. Yang dijual hanya ayam goreng, lele goreng dan sambal serta lalapan. Aku memesan lele John dan Dedeh lebih memilih ayam goreng. Untuk ukran di desa begini ya lumayan juga lah. Perut kenyang, otak mulai cemerlang lagi.

    Lebih kurang sejam kami sudah kembali lagi di warung pak Rawi. Aku dipersilakan masuk ke dalam rumahnya. Di dalam ternyata sudah ada 4 anak yang masih sangat belia. Waktu itu Pak Rawi menyebut nama-nama mereka, tetapi otakku tak mampu merekamnya, sebab aku fokus dengan sajian di depanku dan mengherankan ku mereka masih hijau sekali.

    Pak Rawi menyebut dua anak yang kutaksir berusia 17 dan 15 tahun, kata dia mereka berdua adalah kakak beradik kandung. Aku bertanya ke pak Rawi, apa bisa aku menginap dirumah mereka dan mniduri mereka berdua. Kata Pak rawi, yang dibenarkan Dedeh, bahwa gak masalah. Padahal menurut ceritanya, mereka masih mempunyai orang tua lengkap, ada bapaknya, dan masih ada adik seorang.

    Tantangan yang sangat menggoda. Pak Rawi kelihatan keluar sebentar dan kembali masuk menggandeng seorang pria yang kutaksir berusia sekitar 40 tahun. “ Ini bapaknya,” kata Pak Rawi.

    Aku makin bingung, apa yang harus kukatakan kalau aku berminat kepada kedua anaknya itu. Kalau kukatakan langsung rasanya terlalu vulgar, tetapi kalau dengan kata tersamar, apa yang harus diucapkan, bingung sekali, sehingga aku hanya terdiam.

    “Mangga bos kalau memang berminat sama anak saya, gak masalah. Di sini mah udah biasa, jangan sungkan-sungkan.” kata si Bapak kedua anak itu.

    “Biar masih abg tapi anak-anak ini sudah janda bos, jadi jangan kuatir,” sambung Si Pak Rawi.

    Tambahan informasi ini malah makin membuat bingung, anak umur 14 tahun sudah janda, kapan kawinnya. Ini pertanyaan penasaran yang tidak bisa aku redam sehingga terlontar begitu saja. “Ah si Yati mah baru kawin 3 bulan, suaminya penangguran gak bisa kasi nafkah, akhirnya cerai lagi kakaknya juga gitu, belum ada setahun kawin lakinya ngabur kerja ke Jakarta, gak pulang-pulang,” kata si Ayah.

    Situasi makin seru dan aku tidak bisa membayangkan bagaimana seandainya aku menginap di rumah kakak beradik ini. Tamu yang bakal ngentotin anaknya yang masih berusia remaja. Benar-benar sulit membayangkannya. Aku penasaran dengan tantangan seperti itu akhirnya aku setuju akan bermukim malam ini di rumah kakak beradik ini.

    Sementara itu John rupanya dia kurang selera dengan ABG, dia berbisik ke Dedeh, jika ada temennya yang bisa menampungnya malam ini. Bu Dedeh hanya bilang “Sip,” lalu dia berlalu keluar.

    Sementara itu Si bapak menginstruksikan kedua anaknya mendahului pulang ke rumah. Aku mengobrol macam-macam dengan si Bapak yang kemudian kuingat bernama Akhmad.

    Semua anak-anak peremuan tadi bubar dan kami meneruskan ngobrol sambil menyeruput kopi tubruk yang hangat.

    Mungkin ada satu jam kami berbual, sampai muncul si Dedeh bersama wanita lumayan manis, bahenol, usianya sekitar 25 tahun, matanya centil, dia menyalami kami semua disitu. Dedeh lalu mengatur cewek itu duduk di sebelah John.

    Setelah basa-basi dan ngobrol mengenai macam-macam. Akhirnya kami beranjak. John digiring ke rumah pasangannya, aku diajak kerumah si Akhmad. Rumahnya tidak terlalu jauh, hanya beda arah dengan rumah yang kuinapi semalam. Jalan masuk gang, berkali-kali Akhmad bertegur sapa dengan orang di sepanjang perjalanan.

    Rumah Akhmad di dalam gang yang berliku liku. Aku harus ditunjukkan jalan besok jika keluar dari kediaman Akhmad, karena tidak semua yang kami lalui adalah jalan gang, ada melalui belakang rumah orang, melintas sumur, kadang-kadang menerobos kawat jemuran. Mungkin aku dibawanya melalui jalan pintas.

    Setibanya di rumah aku disambut oleh istri si Akhmad. Mungkin dia kawin muda dulu, anaknya sudah sebesar, ini kok istrinya masih kelihatan muda juga. Atau istrinya memang berpenampilan lebih muda dari usianya. Lumayan juga istri si Ahmad.

    Jangan langsung menuduh aku berminat pula pada istri si Akhmad. Sebab aku masih belum bisa menghilangkan rasa kikuk bertamu ke rumah Akhmad yang akan menyerahkan kedua anaknya ditiduri di rumah ini juga.

    Rumahnya lumayan bersih dan lebih bagus dari rumah-rumah yang kusinggahi semalam. Namun desain rumahnya yang tidak terlalu modern, hampir sama dengan rumah-rumah lain di desa. Ruang tamu memanjang lalu di sebelahnya pintu-pintu ruang tidur.

    Aku dipersilakan duduk lalu tidak lama kemudian duduk dan diberi hidangan kopi mix. Aku ngobrol , istrinya juga ikut nimbrung. Dari kesanku selintas istri Akhmad kelihatan centil, ini terlihat dari matanya yang liar. “Aku lalu membatin di dalam hati, ah mana mungkin 3 perempuan di rumah ini aku embat semua, emak dan dua anak kandungnya, ah sulit membayangkan adegannya,” itulah pikiran yang bermain diotakku.

    “Pak kalau berminat sama istri saya, sok aja,” kata Akhmad yang mengagetkan lamunanku. Mungkin gestur tubuhku tidak bisa menyimpan apa yang berada di pikiranku, sehingga Akhmad membaca apa yang kuhayalkan.

    Aku jadi bingung menjawabnya, kalau aku katakan tidak, padahal sebenarnya ingin juga. Paling tidak ingin mengalami dikerubuti 3 perempuan yang terdiri dari ibu dan dua anaknya yang masih remaja. Sebaliknya kalau bilang iya, masa polos begitu ngomongnya.

    Situasi sulit untuk menentukan sikap.

    “Sudah bos nanti saya pijetin, gak usah mikirin bayaran, pokoknya asal bos kerasan aja,” kata si nyonya Akhmad.

    “Sok lah jangan segan-segan di kampung mah udah biasa, kebetulan ntar malam saya dapat giliran ronda,” kata si Akhmad.

    Aku Cuma mampu tersenyum, ngomong apa pun tak bisa karena bingung apa yang harus diomongkan. Tawarannya gak masuk akal banget sih.

    Hari sudah mulai sore, aku menyerahkan uang jasa untukmeniduri dua anak dan ibunya sekaligus ke si emak. Uang begitu saja diterima, tanpa dihitung. Aku sudah bisa mengira-ngira berapa biaya yang harus aku keluarkan untuk urusan menginap di desa ini. Kalau dibandingkan sih hampir sama dengan tarif hotel bintang 5 di Jakarta menginap satu malam, bedanya disini diselimuti 3 wanita yang menarik, Kalau di Jakarta ya hanya kamar mewah, dingin karena AC dan kamar mandinya bisa untuk berendam air panas.

    Aku meneruskan mengobrol gak tentu arah dengan si Akhmad, kedua anaknya tidak kelihatan, si nyonya sudah beranjak. Sekitar jam setengah enam sore mereka datang bertiga lalu menawari aku mandi di sumur di belakang rumah. Badanku memang sudah agak berkuah karena udara panas di desa.

    Seperti di rumah sebelumnya aku diberi pinjaman kain sarung dan ditunjukkan kamar tidur tempat aku meletakkan ransel. Di dalam kamar yang tidak terlalu luas, terhampar kasur di lantai dilapisi tikar yang ukurannya lebih lebar. Di tikar dan di kasur ada beberapa bantal. Mungkin kalau udara panas mereka tidur di tikar.

    Aku melepas blue jeans dan mengganti kaus dengan kaus oblong hitam katun. Semua kaus oblong ku memang dari katun, karena nyaman untuk berkelana. Dengan hanya bercelana dalam dan ditutupi sarung serta kaus oblong dan handuk, serta sikat gigi dan sabun cair botol kecil aku keluar kamar.

    Ketiga perempuan itu sudah berada di ruang tengah, si Akhmad tidak kelihatan. Para wanita mengenakan kemben sarung yang menutupi buah dada sampai ke lutut dengan kain sarung. Umumnya wanita desa kalau mandi memang seperti itu busananya.

    Aku digandeng si nyonya yang kemudian aku kenali dengan nama Teh Indun. Dia menggiringku ke belakang rumah. Dibelakang rumah ada kebun singkong, kami keluar dari pintu dapur berjalan sekitar 10 m dan berbelok ke kiri. Ada bagian yang terbuka tidak ditumbuh tanaman kebun, ditengahnya ada berdiri pompa tangan dan ada 2 ember yang sudah berisi air. Kalau ini kamar mandinya, kenapa tidak ada dinding. Yang ada hanya tonggak kayu untuk menyangkutkan baju. Lantainya sebagian dari semen sebagian lagi batu bata yang disusun.

    Aku masih terbingung-bingung, karena serasa mandi ditengah kebun. Meski tidak terlihat dari mana-mana, tetapi aku masih merasa rikuh juga jika harus bertelanjang di kamar mandi yang terbuka gini. Aku mengangkat sarung dan mengambil segayung air untuk sikat gigi. Paling tidak aku menunggu apa yang mereka lakukan dan bagaimana cara mereka mandi. Ternyata eh ternyata, tanpa sungkan-sungkan mereka bertiga membuka kemben dan menyangkutkan ke tiang-tiang. Lalu bugil dan langsung jongkok di dekat ember penuh berisi air. Mereka tidak mengenakan apa-apa lagi dibalik kain sarung.

    Ketiga perempuan itu lalu menyiduk air dan mandi. Mereka menyabuni tubuh sambil tetap jongkok. Memang kalau posisi jongkok gitu, tidak banyak yang bisa terlihat, karena kemaluan tertutup ember dan kedua payudara agak terhalang oleh tangan yang sibuk menyiduk air. Tapi ya tetap saja sesekali terlihat payudaranya.

    Aku jadi merasa tertantang untuk bugil juga. Aku buka seja semua atributku sampai telanjang bulat. Ada baiknya si otong tidak unjuk tegangan, tetapi agak berisi juga, sehingga tidak kuyu-kuyu amat. Aku mengambil inisiatif memompa air untuk menambah air yang berada di dalam ember.

    Mereka bertiga cekikikan melihat tingkah lakuku yang pasti mereka menangkap aku bersikap rada janggal. Ya iyalah, budayaku rada beda, dan seumur-umur baru kali ini mandi telanjang di kamar mandi tanpa dinding, dan telanjang pula.

    Aku lalu menggabung mandi, hanya bedanya aku tidak mandi sambil berjongkok. Dengan gaya masa bodoh aku berdiri sambil menyiram seluruh tubuhku dengan air sejuk. Terasa segar sekali. Aku mengambil sabun cair dan mengusapkan ke seluruh tubuhku. Mereka agak aneh melihat sabunku dan terasa berbau wangi segar. Mereka penasaran ingin mencoba sabunku.

    Mungkin karena aku berdiri cuek, mereka akhirnya juga ikut berdiri dan mengusap-usap sabun cair wangi itu ke seluruh tubuhnya. Si Emak jembutnya tebel, teteknya lumayan penuh dan pentilnya besar berwarna agak kehitam-hitaman. Si anak yang besar yang tadinya kutaksir umur 17 tahun ternyata 16 tahun teteknya kenceng dan lumayan menonjol, pentilnya belum terlalu berkembang, jembutnya sedikit Cuma ada diujung atas lipatan memeknya. Yang kecil memang umurnya baru genap 14 tahun, teteknya masih mancung kecil, pentilnya kecil, seperti pentil tetek laki-laki, jembutnya masih gundul, sehingga gundukannya jelas terlihat menggelembung.

    Si emak tanpa kuminta mengambil inisiatif menyabuni punggungku. Dia mengambil semacam sabut dari buah seperti oyong atau gambas yang tadi dibawanya dalam ember kecil, lalumenggosokkan di bagian belakang tubuhku. Enak sih rasanya, gatal-gatal di punggung jadi seperti digaruk pula. Tetapi cilakanya tangannya merambah kemana-mana sampai menggapai bagian vital diselangkangan. Dengan nakalnya dia membelai batangku yang tertidur karena siraman air dingin. Namun karena dibelai dan bahkan kadang ada gerakan mengocok, membuat si Ucok jadi marah dan bangun seperti menantang lawan. Kedua anaknya tertawa seperti ditahan-tahan, Tetapi ibunya tidak peduli dan juga tidak malu memainkan penis yang bukan suaminya di ddepan kedua anak perempuannya.

    Untung adegan tidak berlanjut, karena dia lalu menyirami aku dengan air. Aku dimintanya jongkok, sehingga dia menyiramiku dari atas. Ritual mandi yang dingin jadi menegangkan, karena aku memang jadi tegang, berakhir juga. Aku menghanduki diriku sendiri lalu mengenakan celana dalam, sarung dan berkaus oblong.

    Hari mulai gelap, aku duduk di ruang tamu ditemani Akhmad. Tidak lama kemudian tuan rumah mengajakku makan. Lauknya ada 3 macam, ada tumis kangkung, ada tempe goreng, ada ikan pindang( di sini nyebutnya ikan cuek) goreng dan tidak ketinggalan sambal. Nikmat sekali meski pun menunya sederhana. Perutku jadi kenyang, apalagi didorong dengan air putih segelas. Rasanya makin kenyang.

    Aku duduk ngobrol lagi sama Akhmad sambil dia merokok. Tidak ada kesan sedikitpun dia cemburu atau khawatir, bahwa aku bakal memporak-porandakan istri dan anak-anaknya. Kesanku dia malah seperti orang lain dirumah ini yang bagai tidak ada hubungan saudara dengan perempuan-perempuan di rumah ini. Aku jadi merenung, segila-gilanya aku, kayaknya aku tidak bisa bersikap seperti Akhmad jika menghadapi situasi serupa.

    Istri Akmad muncul dari dalam dengan segelas minuman. Akhmad menyambutnya, “Bos mesti minum jamu kampung ini, saya sering minum jamu ramuan kampung, mantap bos,” kata Akhmad.

    Tidak ingin mengecewakan mereka begitu gelas ditaruh di meja langsung aku ambil dan aku habiskan. Rasanya sedikit pahit, dan pedas. Aku memang sering minum jamu, tetapi belum pernah meminum ramuan yang seperti ini rasanya.

    Akhmad bercerita bahwa obat ini ramuan dari kampung ini, dan merupakan jamu rebusan dari tumbuh-tumbuhan yang hanya ada di kampung. Khasiatnya dipromosikan terlalu berlebihan menurutku, karena dia berkali-kali mengangkat jempol.

    Baru sekitar setengah jam, badanku merasa gerah, dan mulai agak berkeringat sedikit. “ Obatnya mulai bereaksi bos, rasanya panas kan,” kata si Akhmad. Aku membenarkan memang terasa agak gerah jadinya. Sejujurnya aku tidak tahu, itu jamu untuk apa, aku baru sadar, jangan-jangan ini obat tidur. Ah biarain saja lah, kalau obat tidur pun gak masalah, karena aku memang agak lelah.

    Jam di didinding sudah menunjuk angka 8, Akhmad lalu bersiap-siap akan ronda membawa kain sarung, senter dan penutup kepala. Dia tidak lama kemudian pamit untuk meronda bersama koleganya. Kebetulan pos rondanya tidak terlalu jauh dari rumah.

    Selanjutnya hanya aku laki-laki dirumah ini, selebihnya ya perempuan. Si emak menggelandang aku masuk kamar. Kedua anaknya ikut mengiring dari belakang. Tanpa izin dariku, sarungku dibukanya dan kaus oblongku diloloskan keatas. Aku disuruh tidur telungkup.

    Si Teteh rupanya ingin memijatku. Pijatannya lumayan nikmat juga, mulai dari kaki sampai semua badan bagian belakang dipijatnya. Anaknya diajari memijatku. Aku jadinya dipijat oleh tiga wanita. Kedua anak masing masing memijat kakiku sedang biangnya memijat badanku. Suasana penerangan di dalam kamar boleh dibilang gelap. Hanya ada cahaya dari luar yang masuk, sehingga tidak gelap total. Aku tidur telungkup menikmati pijatan mereka bertiga. Si Teteh duduk diatas badanku.

    Aku merasa ada yang aneh, sepertinya si Teteh tidak mengenakan pakaian, atau sarung. Aku merasa bulu jembutnya berkali-kali menggerus punggung dan pantatku. Membayangkan situasi itu, pelan-pelan senjataku terkokang.

    Ketika aku diminta berbalik sehingga tidur telentang, jelas semualah yang terjadi pada mereka. Meski gelap, tetapi aku dapat menangkap bayangan remang-remang bahwa mereka bertiga sudah bugil tanpa sehelai benangpun menutupi tubuhnya.

    Badanku kembali dipijat, entah sengaja atau tidak tangan si Teteh meraba masuk ke celana dalamku sehingga menangkap ular piton di dalamnya. Ularnya memang telah membengkak. Tanpa basa-basi ditariknya celanaku sehingga aku pun akhirnya bugil.

    Nyionya rumah mulai mempermainkan senjata kebanggaan ku yang sebenarnya semalam sudah bekerja keras menembaki musuh. Normalnya malam ini aku agak kurang bergairah. Tetapi ternyata gairahku lumayan juga, karena senjataku sudah terisi penuh dan keras.

    Tanpa sungkan terhadap kedua ananknya si Teteh melahap penisku menhisapnya dan menjilati kantong menyan di bawahnya. Jago banget si emak ini. Aku memilih bersikap pasif saja, menunggu bagaimana mereka akan memperlakukan aku.

    Mungkin karena sudah kenyang bertempur semalam, atau mungkin juga karena jamu yang tadi membuatku berkeringat. Aku mampu bertahan mesik dioral hampir setengah jam. Kelihatannya si Teteh lelah melomoti senjataku. Dia lalu bangkit dan mengangkangiku dan memegang penisku diarahkan ke lubang kenikmatannya. Setelah lolos masuk semua dia mulai melakukan gerakan-gerakan ganas sambil merintih-rintih sendiri.

    Kedua anaknya hanya menonton saja di kiri-kanan. Ibunya tidak ambil pusing ditonton anaknya dia berusaha menikmati garapannya sendiri sambil terus merintih. Mungkin dia sudah orgasme karena tiba-tiba ambruk di dadaku lalu nafasnya mendengus-dengus. Mungkin juga karena pengaruh grafitasi, sehingga aku masih bisa menahan spermaku tetap di tempatnya. Ibunya memerintahkan anaknya yang besar menggantikan posisinya menduduki. Anaknya segera mengerti, meski perintah itu, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Anaknya berjongkok dan memeegani senjataku lalu dimasukkan ke dalam celah vaginanya. Pelan-pelan diturunkan badannya sampai senjataku ambles di dalam lubangnya jang terasa agak sempit. Dia mulai bergerak pelan-pelan naik turun. Namun lama-lama makin cepat dan gerakannya mulai tidak teratur, karena kadang-kadang bergerak maju mundur pula.

    Tiba-tiba dia menjerit tertahan dan rubuh ke dadaku, aku merasa memeknya berkedut-kedut. Aku kagum juga melihat kenyataan. Dari pengalamanku, anak seusia 16 -17 tahun agak susah berorgasme, karena mereka sesungguhnya belum memahami sex sepenuhnya. Kulirik ke kiri si emak sudah mendengkur halus.

    Adiknya yang biasa dipanggil Yati diminta mengganti posisi kakaknya. Aku diam saja, sambil ingin tahu seberapa jauh dia mengetahui permainan sex. Badannya kecil cenderung belum berlemak banyak kecuali di dadanya yang menggembung sedikit dan di bongkahan pantatnya yang agak mengembang. Yati kemudian mendudukiku dan mengarahkan penisku ke lubangnya yang masih gundul.

    Terasa agak sulit masuk mungkin karena kurang pelumasan, atau karena diameter lubangnya masih kecil. Perlahan-lahan sambil tampangnya nyegir menahan kati dia paksakan juga menelan batangku yang masih menegang perkasa. Dia melakukan gerakan perlahan-lahan. Kentara sekali kalau anak ini masih hijau dalam pengalaman berhubungan kelamin. Namun dia tahu melakukan ritual itu dengan melakukan gerakan maju mundur, sehingga clitorisnya menggesek-gesek bagian tubuhku. Semakin lama semakin semangat dia bergerak. Dia sudah menermukan ritmenya sendiri. Aku tidak berharap bisa bertahan tidak ejakulasi sampai si Yati mencapai orgasmenya dulu. Sebab wanita umur 14 tahun sangat sulit mencapai orgasme melalui hubungan badan. Itu pengalamanku. Tapi rasanya pertahananku cukup kuat kali ini, mungkin nafsuku tidak terlalu tinggi ditambah ramuan jamu tadi juga.

    Cukup lama juga dia mengendaraiku sampai akhirnya dia mengatakan, capai. Kasihan juga memaksa terus bermain diatasku. Kami kemudian berganti posisi dari WOT menjadi missionaris. Agak lebih gampang menjeloskan senjataku masuk ke dalam vagina kecilnya karena peumasnya telah cukup banyak, Aku mulai mengayuh sambil membayangkan anak dibawah umur yang kutindih. Dia memang diam saja, tetapi lubang vaginanya terasa nikmat sekali karena masih sempit. Aku berusaha berkosentrasi untuk mencapai orgasmeku, Aku sudah lelah juga menggenjot, sampai akhirnya spermaku melesat menandakan permainan berakhir dan kepuasan berada di pihak ku. Aku tidak tahu anak kecil ini sudah orgasme apa belum. Ah apa peduliku, selain dia belum cukup umur, toh dia memang yang melayaniku.

    Yati tampak berjongkok di pojok ruangan, rupanya dia membersihkan vaginanya dengan handuk kecil dan seember air disitu. Selesai dia membersihkan selangkangannya akupun mengambil handuk kecil lain dan membasuhkannya ke seluruh permukaan senjataku. Diatas kasur sudah seperti ikan pindang, tiga orang tidur berjajar telanjang. Yatipun ternyata sudah tertidur. Aku melihat sekiliing kamar, ternyata ada disiapkan kasur single di pojok kamar. Aku langsung mengambil sarung dan merebahkan tubuhku yang sudah lelah kembali meski tadi sudah dipijat.

    Meski lelah aku agak sulit tidur. Anehnya senjataku menegang lagi. Ah ini luar biasa dan diluar kebiasaanku bisa bangkit lagi dalam waktu kurang dari 10 menit. Aku harus mengakui ramuan tadi yang kuminum memang bekerja baik sekali.

    Aku tidak tahu harus bagaimana memperlakukan anggota tubuhku yang tidak tunduk perintah dan sering melawan bosnya. Aku berusaha tidur sebisa mungkin. RAsanya sudah mulai diawang-awang, tetapi aku menangkap sebersit bayangan berkelebat. Aku kaget. Kukira hantu kamar ini, Mata kupicingkan ternyata si Teteh bangun lalu terlihat seperti jongkok di ember lain yang tersedia di kamar itu dan kosong. Dari suaranya yang berdesir, ternyata dia sedang kencing. Aku mengikuti apa yang dia lakukan, ternyata sehabis kecncing dia bersihkan memeknya dengan sedikit air lalu diusap dengan handuk.

    Aku masih berpura-pura tidur, sampai akahirnya si Teteh menghampiriku dan duduk disampingku. Tangannya langsung membekap penisku yang sedang menegang. “Eh orangnya tidur, tapi adiknya bangun,” katanya.

    Ditariknya sarungku ke atas, sehingga penisku mengacung bebas. Teteh lalu bertiarap diantara kedua kakiku dia mengoralku lagi dengan penuh semangat. Aku masih tetap berpura-pura tidur. Aku memperkirakan sudah jam 12 malam, karena kudengar petugas ronda memukul tiang listrik 12 kali.

    “Ah si akang barangnya enak banget dan keras,”kata Si teteh seperti bicara sendiri. Rupanya dia tidak ingin menyia-nyiakan potensi yang ada, Segera penisku didudukinya dan dia mulai bermain diatasku dengan gerakan cepat. Rasanya kayak bernafsu banget si Tetep istri Akhmad ini. Tidak lama kemudian dia berhenti karena terasa memeknya berdenyut-denyut. Tidak lama kemudian dia mulai bergoyang lagi dan makin lama makin cepat dan sebentar kemudian dia orgasme lagi. “Ih si akang hebat banget ya, gak keluar keluar,” katanya.

    Mungkin dia merasa lelah dan tahu lah bahwa aku sudah tidak tidur lagi makanya dia minta aku yang menindihnya. Akupun tidak menunggu lama segera kugenjot habis-habisan sampai dia mencapai orgasme lagi dan aku tidak berhenti menggenjot sampai si Teteh minta ampun ingin menyudahi, Tapi aku merasa tanggung karena rasanya sebentar lagi mencapai puncak, jadi aku sikat saja terus ,meski si Teteh udah kewalahan, Dia kemudian seperti mengerang atau menjerit lirih panjang yang meningkatkan nafsuku sehingga karenanya aku pun mencapai orgasme dan berejakulasi.

    Badanku penuh berkeringat, dan terasa suasana di kamar ini begitu gerah. Kusambar sarungku dan kaus, aku berjalan ke luar kamar danaku keluar ke halaman depan. Rasanya sejuk sekali namun gelap dan sepi. Aku melepaskan hajat kecilki di semak di depan rumah lalu aku kembali masuk rumah dan masuk kamar setelah keringatku kering.

    Kulihat si Teteh mendengkur pula dikasurku dengan posisi ngangkang dan bugil. Ruang untuk tidurku hanya ada di sebelah kedua anak-anak. Aku pun merebahkan badan yang terasa penat. Hanya sebentar saja rasanya aku sudah tidak ingat apa-apa.

    Aku terbangun karena terasa senjataku dibasuh oleh handuk dingin. Ternyata si Teteh sudah bangun. Dan kedua anak-anak-anak sudah tidak ada ditempatnya. Cuaca mulai terang. Mungkin sekitar jam setengah tujuh pagi. Suasana masih agak sejuk.

    Teteh dan anak-anak sudah bersiap untuk mandi. Aku tergerak ikutan mandi juga. Seperti kemarin sore kami berempat berbugil ria. Bedanya kali ini anak-anak tidak malu-malu, tetapi sudah blak-blakan telanjang sambil berdiri. Anehnya batangku sudah mengeras lagi, padahal biasanya jika malamnya sudah habis-habisan bertempur, paginya akan susah menegang. Ini kali memang aneh. Dampak jamu godogan itu ternyata luar biasa juga.

    Aku membawa kamera saku, mulanya mereka malu-malu aku jepret sambil berbugil, tapi karena bujukanku yang mugkin masuk akal bagi mereka, akhirnya mereka mau juga. Setingnya adalah kewajaran kebiasaan mereka mandi. Jadi gambar-gambar yang kurekam terlihat natural dan sangat desa suasananya.

    Celakanya meski disiram air dingin dan habis mandi, barangku sulit ditundukkan. Si teteh tersenyum-senyum penuh arti. Kayaknya dia punya rencana sendiri. Selesai mandi kami beriringan masuk rumah dan aku disuruh masuk bersama kedua anak remajanya. Kedua anak itu disuruh melayaniku sampai aku puas.

    Karena hari semakin siang aku cepat cepat saja berinisiatif mencumbui kedua mereka. Sementara itu si Teteh tidak ikut masuk kamar. Kali ini baru aku makin jelas menyaksikan potensi kedua anak ini. Si adik teteknya masih kecil jembutnya masih bulu kalong, dan celah memeknya kelihatannya masih rapat. Aku sempat meraba celahnya dan diam-diam aku cium tanganku yang sempat mencolok celah berlendirnya. Tidak terasa ada bau amis dan aneh.

    Kakaknya bentuk memeknya juga cembung dan ada sedikit bulu di ujung lipatan aku colok-colok mereka pasrah juga dan ciran vaginanya juga tidak berbau. Keduanya mereka masih sehat-sehat saja. Aku jadi tertarik mengoral kedua bocah ini. Mulanya aku mengoral kakaknya, yang malu-malu ngangkang di depan wajahku yang sangat dekat dengan memeknya. Namun lama-lama mulai bisa menikmati dan menggelinjang-gelinjang. Si kakak relatif cepat juga mendapat orgasme. Setelah itu aku berpindah ke memek yang lebih kecil dan lebih rapat. Adik pasrah saja aku kangkangkan. Dia agak berjingkat ketika ujung clitorisnya tersentuh ijung lidahku. Mulanya dia mengeluh geli, tetapi lama-lama berjingkat-jingkat karena itilnya disosor. Si adik relatif agak lama mendapat orgasme, sampai leherku pegal.

    Selepas keduanya mendapat orgasme aku langsung menggarap keduanya,Mulanya adiknya aku colok, setelah puas aku bepindah ke kakanya yang sudah standby ngangkang di sebelah adiknya. Aku berpindah-pindah sesukaku. Cara main seperti ini malah tidak nikmat, karena jadi tidak konsentrasi. Padahal badanku sudah mulai lelah dan berkeringat lagi. Akhirnya aku kosentrasi ngembar si kecil sampai akhirnya sisa sperma yang tidak seberapa muncrat juga.

    Seusai pertempuran kami bergegas mengenakan baju dan aku menyambar handuk lalu menuju sumur. Sekali lagi mandi pagi itu, sendirian. Dari sumur aku langsung berpakaian lengkap, celana jeans dan kaus oblong.

    Di dalam sudah terhidang nasi goreng lengkap dengan telor ceplok. Sebelumnya khusus untukku si Teteh sudah menyiapkan 2 telur ayam kampung yang dimasak setengah matang. Untuk memulihkan stamina, kata si Teteh.

    Jam di tangan sudah menunjukkan angka 10 dan HP berbunyi yang tak lain si John sudah nunggu di warung Pak Rawi. Aku segera pamitan diantar Akhmad aku menuju warung Pak Rawi. Disana John cengar-cengir dengan giginya yang putih.

    Basa basi Pak Rawi menanyakan kabarku, aku jawab luar biasa. “Kapan-kapan saya pengen lebih lama tinggal dikampung ini.

    “Itu belum seberapa bos, masih banyak lagi kampung-kampung lain yang banyak jandanya,” kata Pak Rawi. Dia kemudian menawarkan aku jalan-jalan keliling kampung pakai ojek. Berhubung aku masih menunggu jadwal kereta yang ke semarang masihlama sekitar jam 4 sore. Aku terima tawaran pak Rawi untuk keliling kampung-kampung.

    Dua ojek andalan Pak Rawi sudah muncul, menurut Pak Rawi tukang ojek itu sudah hafal dimana saja rumah para janda. Istilah janda itu hanya untuk mempermudah sebutan bagi wanita desa yang bisa diinapi. Tidak semuanya janda, karena ada sebagian masih punya suami atau masih tinggal di rumah orang tuanya.

    Kami berkeliling-keliling kampung dan makan siang sate kambing sejenak di tengah perjalanan. Aku batasi agar kami tidak perlu mampi tapi sekedar melihat wajah-wajah mereka saja. Ternyata banyak sekali yang kami temui dan umumnya lumayan jugalah, meski wajah desanya masih kental. Menjelang jam 3 kami sudah sampai di stasiun kereta api Pegaden Baru.

    Tukang ojek yang dulu mengantar kami menghampiri, “kok buru-buru aja nih bos pulangnya,” kami lalu mengobrol, topik nya ya sekitar wanita-wanita desa yang bisa ditiduri di rumahnya. Ternyata tidak hanya di desa Saradan Pegaden, tetapi masih ada beberap desa yang memelihara sex bebas.***

  3. Menjelang jam 4 sore kereta api Matarmaja muncul dari Barat. Aku dan John sudah menunggu hampir satu jam di stasiun Pegaden Baru, Subang untuk melanjutkan perjalanan ke Semarang. Jika perjalanan normal tidak ada hambatan kami akan sampai di Semarang sekitar jam 10 malam. Lumayan waktu 6 jam dalam kereta yang ACnya masih berfungsi dengan baik.

    Kereta berhenti di stasiun Semarang Poncol. Aku tidak akrab dengan daerah ini, karena biasanya aku turun di Stasiun Semarang Tawang, yang sering kebanjiran. Di pintu keluar stasiun kami sudah dicegat, tukang becak, ojek, dan taksi. Aku berdua ngloyor saja keluar sampai benar-benar keluar dari pagar areal stasiun. Di seberang jalan ada warung menjual minuman segar, dalam kotak pendingin.. Kepada penjual di warung itu aku bertanya-tanya mengenai stasiun bis untuk jurusan Purwodadi. Dia mengatakan, biasanya jurusan Purwodadi terakhir jalan jam 5 sore.

    Kami mencegat taksi dan kepada supir taksi, kami minta diantar ke hotel yang dekat dengan Simpang Lima. Tidak sampai setengah jam taksi sudah berhenti di depan lobby hotel yang lumayan juga. Mungkin hotel ini sekitar bintang 3.

    Urusan Chek in sudah selesai dan kami menuju kamar . Lumayan bersih, kami bergantian mandi dan istirahat sejenak. Malam itu kami berkeliling-keliling Simpang Lima Semarang, untuk cuci mata sambil makan malam.

    Pagi-pagi selepas sarapan kami berdua langsung chek out dan memanggil taksi untuk mengantar ke stasiun bus Penggaron, Semarang. Stasiun bus yang tidak terlalu besar, dengan mudah kami mendapatkan bus jurusan Purwodadi. Duduk sekitar 15 menit di dalam bus yang lumayan hangat juga karena busnya tidak ada AC.

    Normalnya Semarang Purwodadi sekitar 2 jam, tetapi kali ini 3 jam baru sampai terminal Purwodadi, Grobogan. Jalannya memang tidak lancar karena ada perbaikan di beberapa tempat sehingga kendaraan harus ngantri.

    Turun dari bus sudah dicegat tukang beca dan ojek. Saya cuek aja dan ngloyor, dan seperti biasa mencari warung untuk sekedar ngopi sambil cari informasi. Tanya sana-sini sampai akhirnya saya mengatakan mau ke Kropak, Wirosari.

    “Lho saya orang kropak Pak, bapak mau cari rumahnya siapa,” kata si Bapak pemilik warung.

    Waduh saya bingung juga menjawabnya, untung inspirasi segera masuk, “ mau ke balai desa pak, mau ketemu kepala desa,” kata saya menjawab sekenanya.

    Saya lalu menanyakan kendaraan menuju Kropak, si Bapak merekomendasikan saya naik ojeg dia akan mencarikan ojek yang biasa ngantar ke Kropak. Muncullah dua pengojek dengan motor bebek.

    Saya langsung berdiri dan menarik salah seorang tukang ojek itu keluar warung, agar pembicaraan saya tidak di dengar oleh si Bapak pemilik warung,

    Si tukang ojek paham tujuan kami, tetapi dia bukan penduduk sana sehingga tidak bisa menunjukkan tempat-tempat yang saya inginkan. Namun dia banyak kenalan di Kropak yang juga pengojek, dia berharap mereka bisa menuntun saya lebih lanjut.

    Setelah ongkos disepakati, kami meluncur dibawah terik matahari. Jaraknya lumayan jauh juga sekitar 20 km dari kota Purwodadi. Jalan yang dilalui melalui jalan tanah diantara sawah-sawah, kadang-kadang melewati semak dan perkampungan kecil. Sekitar setengah jam kami akhirnya sampai ke Kropak. Aku diturunkan di sebuah warung makan yang sederhana. Ini kesempatan kami makan siang. Si pengojek tadi setelah menurunkan kami dia mencari rekannya pengojek yang standby di desa itu. Tidak lama kemudian muncul tukang-tukang ojek itu. Pengojek dari Purwodadi setelah dibayar ongkosnya dia kembali ke Purwodadi, sementara pengojek asal Kropak menolak kami ajak makan, mereka akhirnya ngopi saja.

    Sambil senyum-senyum mereka menanyakan kira-kira yang bagaimana yang kami inginkan. Jika mengikuti keinginan kami mungkin agak sulit, jadi saya balik bertanya, stok yang ada yang bagaimana saja gambarannya.

    Mereka tawarkan umumnya sudah agak berumur semua, rata-rata diatas usia 25 tahun. Tidak ada yang unik sehingga aku agak sulit menentukan. Aku tanyakan diantara begitu banyak yang ditawarkan adakah yang kakak beradik. Langsung di jawab, “ada” malah ada 3 yang begitu.

    Setelah memperoleh gambaran, akhirnya aku dan john memilih salah satu pasangan kakak beradik yang digambarkan paling bagus. Aku memberi kesempatan kepada tukang ojek itu untuk men cek apakah mereka ada di rumah, dan kalau ada mereka juga perlu bersiap dan juga apakah mereka bisa terima tamu.

    Keduanya akhirnya meluncur, tidak sampai setengah jam keduanya kembali malah diboncengannya ada wanita-wanita. Kami dperkenalkan, orangnya lumayan untuk ukuran desa, badannya kelihatan cukup terawat dan sekel, kutaksir umurnya belum sampai 25. Aku bersepakat dengan John bahwa aku mengambil si adik dan John mengambil si kakak. Kami juga bersepakat untuk nantinya tukar, aku pakai kakaknya dan John pakai si adik.

    Meski pun mereka tidak lagi bisa disebut remaja, tetapi wajahnya manis, jika ada yang pernah melihat wajah pesinden Jawa Sunyahni, ya kurang lebih seperti itu. Kakak dan adik lumayan cakep dan yang lebih penting bahenol.

    Kedua mereka kembali pulang setelah kami tawari minuman mereka menolak. Selanjutnya kami dibawa kerumah si kakak beradik. Rumahnya agak di pinggir desa dan belakang rumahnya seperti ada suara sungai dan memang benar ada sungai yang lumayan lebar dan deras airnya.

    Si kakak memperkenalkan diri bernama Purwanti dan adiknya Purwani. Di rumah itu mereka tinggal bertiga, yang seorang lagi adalah ibu mereka yang sudah cukup tua, tetapi masih kelihatan sehat. Kami sempat diperkenalkan. Dia tidak bisa berbahasa Indonesia, ya untung aku bisa sedikit ngomong Jawa. Dia bercerita bahwa masih mudanya dia adalah penari ledek tayub yang sering berkeliling ke banyak daerah, Kedua anaknya mengikuti jejak ibunya juga penari tayub.

    Purwanti dan Purwani sekarang statusnya janda. Memang agak susah mempunyai istri yang profesinya seorang penari yang harus mampu menggoda lelaki. Kepiawaian menggoda itulah yang merupakan modal penting, karena dengan demikian akan diperoleh banyak duit melalui saweran.

    “Sekarang makin sepi mas jarang ada tanggapan, abis dimana-mana pada sok alim,” kata si adik yang kelihatannya lebih lancar nyrocos.

    Rumah mereka cukup lumayan bersih untuk ukuran desa, hanya modelnya berbeda dengan rumah desa di Pegaden, Subang. Di sini rumahnya model kaya joglo, sehingga kamar ada di kiri kanan dan ruang keluarganya ada ditengah dan tidak berjendela. Terasnya sangat leluasa selebar rumah di situ ada set kursi tamu sederhana lalu ada amben atau bale-bale. Di dalam ada seperangkat kursi tamu dan dibelakangnya ada meja makan.

    Aku dan John sepakat memberi mereka uang jasanya di depan. Jumlahnya sudah kami ketahui dari tukang ojek pemandu tadi. Dengan gaya malu-malu mereka terima uang itu tanpa menghitungnya. Aku menambahkan lagi sedikit yang kusebut sebagai uang makan untuk makan nanti malam dan sarapan besok pagi.

    “Waduh mas hari gini gak ada warung sayur yang jualan, nanti saya minta tetangga nangkep ayam dan digoreng aja sekalian,” kata Purwanti.

    Dia lalu beranjak keluar halaman rumah dan menghubungi tetangga yang disuruhnya memasak ayam goreng. Sementara itu aku minta Purwani mengajak jalan-jalan ke belakang rumah dimana ada sungai. Kami melewati kebun yang ditanami ubi kayu alias singkong, ubi rambat atau telo, cabai rawit dan kacang panjang. Dibelakang kebun itu lah terdapat sungai yang airnya jernih dan mengalir cukup deras. Kami harus hati-hati turun ke bawah karena agak jauh juga kebawah sampai mendapatkan air sungai. Di situ ada tempat untuk cuci pakaian dan sekaligus mandi. “Mas kita nanti mandi sore di sini, lebih enak dari pada di sumur. Airnya seger,” kata Purwani.

    Sekembali kami ke rumah sudah terhidang minuman hangat. “Mas nyobain ini minuman desa namanya wedang uwuh”. Di dalam gelas yang cukup besar terdapat daun-daun kering, kulit kayu dan rempah. Rasanya enak juga dan menyegarkan.

    Kami berempat ngobrol berbagai hal sampai juga membicarakan kemungkinan kami nanti malam melakukan tukar guling. Kelihatannya mereka tidak keberatan. “Emang simasnya kuat ,” ujar Purwani.

    “Eh masnya mau gak nyoba jamu desa, jamu godokan, kebetulan tetangga saya buat gituan, kalau mau saya ambilin,” kata Purwanti.

    Aku yang memang suka jamu, oke-oke saja, tetapi John dia tidak suka rasa pahit jamu jadi dia menolak untuk coba-coba. “Eh mas nanti lemes lho,” kata Purwani.

    Menemani minum wedang uwuh ada singkong rebus. Rasanya sih cukup asyik, apalagi kami makan di teras depan dengan pemandangan alam pedesaan dan bau semak daun-daun. Dari rumah tetangga yang agak jauh terdengar suara burung puter dan tekukur dan sayup sayup ada suara radio yang sedang mengumandangkan lagu-lagu Jawa.

    Suasana desa begini sudah lama menjadi impianku. Tentram, meski sekarang terganggu oleh raungan suara sepeda motor. Sekitar jam setengah lima kami diajak mandi sore ke sungai di belakang. Aku mengenakan celana boxer, juga si John sedangkan mereka mengenakan kemben kain batik. Berbeda dengan adat di Subang, di sini mereka mandi masih pakai kain basahan. Badannya putih dan gempal.

    Karena mereka tidak membuka kembannya aku pun mandi tetap mengenakan celana boxer. Air sungai yang jernih terasa segar sekali. Mereka mandi sambil main ciblon, dengan cara menepuk-nepuk air.

    John memang anak terlalu kota, dia seumur hidupnya belum pernah tinggal di desa. Kalau pun tinggal di desa baru akhir-akhir ini saja karena kebetulan rumahnya yang dia beli kompleks BTN yang membebaskan sawah. Kalau menurut John rumahnya mewah alias mepet sawah.

    Habis mandi badan kami segar sekali. Aku berganti celana dalam mengenakan sarung dan kaus oblong. Kami digiring masuk kedalam kamar masing-masing. Di dalam kamar ada tempat tidur besi yang diselubungi kelambu. Aku dipersilakan naik ke tempat tidur mengambil posisi di dekat dinding.

    Purwani rupanya ingin memberi service pijatan terlebih dahulu aku diminta buka baju tinggal celana dalam saja tidur telungkup. Acara pijat ini memang paling aku sukai, karena badanku rasanya nikmat sekali jika dipijat.

    Tangannya mulai merambah badanku, mulai dari bahu lalu turun ke pinggang lalu turun ke kaki. Badanku didudukinya. Dia masih mengenakan kemben, tetapi kulit punggungku merasa di balik kemben dia tidak mengenakan apa-apa lagi. Aku jadi makin syur.

    Adegan telungkup berubah jadi telentang, seluruh permukaan badanku di jamah dengan pijatan-pijatan. Penisku menggembung di balik celana dalam, diacuhkan saja oleh Purwani. Sampai pijatan selesai terlihat titik-titik keringat di dahinya.

    Badanku sudah segar dan menawarkan memijat dirinya. Mulanya dia malu menerima tawaran itu, tetapi setelah aku desak terus akhirnya dia menyerah. “ Mas e bisa mijet to,” katanya kurang yakin.

    “Ya dicoba wae mbak,” kataku menimpali.

    Dia tidur tengkurap, dan aku mulai melancarkan pijatan dari ujung kaki, naik ke betis, lalu ke paha. Melalui gerakan pijat kain sarungnya makin naik tinggi sampai kedua bongkahan pantatnya terlihat. Purwani berkali-kali memuji pijatanku. Aku memang agak peham titik-titik syaraf, termasuk titik syaraf birahi wanita. Ketika bongkahan pantatnya aku pijat, sebenarnya dia sudah mulai naik nafsunya, tetapi kelihatannya dia menahannya.

    Aku berpindah dari bongkahan pantat yang gempal ke bahu. Lemak di bagian belakang tubuhnya lumayan kencang. Pijatan terus turun ke bawah sampai lagi ke bongkahan pantat.

    Ketika dia kuminta berbalik telentang, Purwani berusaha menutup bagian kemaluannya dan kedua payudaranya dengan kemben batik. Aku kembali memijat dari ujung kaki terus naik secara perlahan-lahan ke paha. Paha bagian dalam adalah bagian kelemahan wanita. Jika bagian itu diberi tekanan lembut, dia akan merangsang pemiliknya. Memang ketika bagian itu aku sentuh, Purwani sudah mulai menggeliat. Dia sudah mulai terlanda birahi. Makanya ketika kain batiknya aku singkap ke atas dia sudah tidak peduli lagi.

    Segitiga selangkangannya sudah terbuka dan aku bisa dengan jelas melihat jembut yang tidak terlalu lebat, tetapi istimewanya bagian kemaluannya membubung, Orang desa menyebutnya mentul. Aku memijat bagian pinggir kemaluannya lalu aku tekan-tekan bukit kemaluannya. dia sudah makin sering menggelinjang. Dengan gerakan sambil memijat, salah satu jari kelingkingku masuk kecelah kemaluannya. Terasa berlendir basah. Dia dipastikan sudah sangat terangsang.

    Aku lalu memainkan clitorisnya, dia semakin menggelinjang gak karauan, aku memainkan dengan gerakan konstan dan sentuhan halus sampai dia mencapai orgasme yang ditandai dengan denyutan lubang memeknya. Setelah reda aku mencolokkan perlahan-lahan jari tengah dan jari manis ke dalam vagina sampai seluruh jariku terbenam. Setelah vaginanya terbiasa menerima kedua jariku aku memainkannya dengan mengocok dan kadang-kadang melakukan gerakan seolah mengangkat tubuhnya dengan kedua jariku. Purwani melolong-lolong nikmat sampai akhirnya dia menjerit nikmat. Badannya sampai ikut berkedut-kedut karena hentakan orgasmenya yang demikian kuat. Bukan itu saja, dari belahan vaginanya ada memuncrat berkali-kali cairan sampai mengenai hidungku. Dia mengalami orgasme vagina dan berejakulasi.

    Akhirnya dia terkulai lemas, kembennya sudah gak karuan dan tidak lagi menutupi buah dadanya yang membengkak. “ Mas seumur-umur aku baru ngrasai enak yang kayak gini , sampai rasanya ada yang muncrat ya mas,” katanya.

    Aku menciumi wajahnya yang sedikit berkeringat. Dia lalu memelukku erat sekali. “ Mas sudah tinggal di sini aja sama saya jangan pulang lagi, “ katanya .

    Wanita yang baru mendapat orgasmenya yang dahsyat jika dilanjutkan dengan menciumi wajahnya seperti mencurahkan kasih sayang, dia akan sangat berkesan dan ingin selalu berada di dekat kita. “Mas awakku lemes banget he rasane, lan rada ngantuk,” ujarnya.

    Aku yang sudah mencapai ketegangan top, tentu saja mengabaikan keluhannya, Kembennya aku buka sehingga di telanjang bulat lalu celanaku kulepas dan dengan posisi menindihnya aku mencolokkan penisku memasuki gerbang kenikmatannya.

    Meski lubangnya terasa licin, tetapi karena cairannya agak kental, jadi rasanya rada megang tuh memek. Rasa vaginanya enak sekali. Aku terus bermain menggenjotnya. Mungkin karena dia baru saja mencapai orgasme dan merasa dekat dengan aku, dia cepat sekali mencapai orgasme berikutnya sampai akhirnya aku mencapai ejakulasi juga . Spermaku kulepas di dalam vagina dengan menekankan kemaluanku sedalam-dalamnya.

    “Mas suwun yo mas sudah lama aku nggak dapet rasa nikmat yang begini, mas kok pinter banget sih, “ katanya.

    Kami lalu beristirahat sebentar, sambil ngobrol. Dia katanya ngantuk sekali, ingin tidur sebentar. Aku terpaksa bengong saja menunggui dia tidur. Dengan bersarung, aku keluar mencari kamar mandi di dalam rumahnya. Disitu kucuci senjataku lalu mengenakan celana dalam dan mengenakan kaus oblong.

    Ketika keluar aku berpapasan dengan Purwanti, “Mas temenmu ngorok, Wani mana, “ tanyanya.

    “Ngorok,” jawabku singkat.

    “Wah mas e pasti kuat lan pinter main e,” kata Purwanti mengambil kesimpulan singkat.

    Jam sudah menunjukkan jam 8 malam, perut sudah mulai menghisap. Purwanti membangunkan Wani untuk membantunya menyiapkan makanan. Lauknya adalah ayam goreng dan sambel. Si John dengan mengusap-usap mata keluar dari kamarnya.

    Ketika kurasai ayam gorengnya masih terasa bau amis ayam. “Mbak ayam nya kita buat soto saja ya.” Kataku.

    “Mas aku gak punya bumbunya,” katanya.

    “Tenang wae aku sing nggae,” kataku menyatakan siap membuat soto ayam seketika. Didalam ranselku ada 2 bungkus mihun jagung soto ayam, Aku minta mereka nyuir-suir ayamnya sementara aku merebus mihun. Sekitar 5 menit bihun rebus rasa soto sudah selesai dan kuletakkan dipanci dengan air yang berlebihan, lalu tambah garam sedikit, merica bubuk dan msg, sampai rasanya pas ketika kucicipi.

    Nasi kami ditaburi suiran ayam lalu kuah soto dengan bihunnya kami tuang ke piring masing-masing. Nasi panas dan soto panas, tambah sambel bawang, wuih rasanya nikmat banget. “Eh mas e kok pinter yo mbikin soto cepet banget dan enak e nggak kalah karo warung soto,” kalau keadaan darurat memang harus gitu kataku.

    Lho mas e memang pinter masak tho, tanya si Purwanti, aku jawab sedikit-sedikit bisalah. “Wah kebetulan besok lagi pasaran di desa, jadi banyak orang jualan, Besok kita belanja ya, terus mas e sing masak.

    Di desa-desa di jawa, tidak setiap hari ada pasar, biasanya pasar diselenggarakan seminggu sekali. Ada yang mengikuti hari berdasarkan penanggalan masehi, tetapi kebanyakan mengikuti hari-hari jawa atau disebut naptu, Jadi ada pasar paing, disebut paingan, pasar legi ya legian. Aku tidak ingat di Kropak itu pasar apa.

    Setelah makan bersama, termasuk si mbah ikut makan bersama, kami istrihat sambil makan angin, begitu istilahku, duduk-duduk di amben teras depan. Suasananya senyap sekali, hanya suara jangkrik dan macam-macam binatang lainnya yang terdengar.

    Malam ini Nyonya rumah menyuguhkan kopi tubruk yang dicampur jahe. Rasanya pedes dan seger. Kopi adalah persiapan untuk kami tidur sampai larut. Menjelang jam 10 kami digiring masuk, kali ini swing, atau tukar peraduan, Aku masuk ke kamar kakaknya Purwanti, Purwani menyeret John memasuki kamarnya.

    “Mas kata adi ku, si mas e pinter mijet yo,” kata Purwanti.

    “Kalau mau dipijet, mesti mijet dulu,” kataku.

    Aku pun lalu membuka semua baju termasuk celana dalamku. Itu aku lakukan karena ruang tidur kami agak gelap. Aku langsung tidur tengkurep.

    “Eh mas e lha kok langsung telanjang yo.” Katanya sambil meraba-raba pantatku

    “Iya dari pada repot nanti, toh akhirnya dibuka juga, “kataku.

    Seperti ritual pijat biasa dan kemudian aku membalas dengan memijat dirinya. Si kakak ini malah cepet banget terangsangnya. Mungkin karena suasana gelap dia jadi merasa makin romantis. Ketika kucolok dua jariku dan mempermainkan gspotnya dia berteriak ketika orgasmenya datang. Kayak gak peduli, dan mukaku kena semprot pula pancaran ejakulasinya.

    Aku juga memperlakukan Purwanti dengan penuh kasih sayang, kuciumi wajahnya yang baru saja dia mendapat orgasme tertingginya. “Mas tinggal seminggu di sini ya, gak usah kasi duit aku juga gak apa-apa, aku bakal kangen terus karo sampean,” katanya sambil memelukku erat sekali seolah-olah dia tidak rela melepas tubuhku.

    1. Selanjutnya aku menggenjot tubuhnya sampai dia kembali kelojotan. Jamu godogan yang aku minum tadi memang membuktikan khasiatnya. Badanku tidak terasa capek sama sekali bahkan batangku tetap berdiri tegak 100%.. Si Purwanti kewalahan menghadapi aksiku sampai dia minta disudahi saja permainannya, padahal aku belum nyampe. Untuk mempercepat orgasmeku aku harus berkonstrasi penuh, sampai akhirnya sampai juga ke puncak dan tembakan kulepas di dalam liang kenikamatan yang terdalam.

      Baru saja setengah jam istirahat, tiba-tiba si adik masuk dan langsung mengambil posisi tidur disebelahku, rasanya tempat tidur jadi sempit karena aku diapit di tengah. “ Lha kok kawanku ditinggal,” tanya ku.

      “ Habis dia udah gak kuat main lagi mana langsung ngorok, ya udah aku tinggal aja kemarin, abis suarane si mbak tadi njerit, pasti keenakan ya,” kata Purwani.

      Akhirnya aku setuju tidur bertiga tapi aku mengajukan syarat mereka dan aku semua tidur tanpa baju. Aku bilang biar gampang. Benar juga si adik belum sejam istirahat sudah mengelus-elus si Boy. Eh ditantang begitu dia langsung bangun dan siap bertempur lagi. Sebetulnya aku sudah rada males, tapi namanya kesempatan yang jarang ada, maka kubiarkan saja. Purwani tanpa malu-malu menaiki tubuhku dan memasukkan batangku ke vaginanya. Dia bermain sampai mencapai kepuasan dan akhirnya ambruk. Lalu tidur di sampingku. Kakaknya sudah tertidur dari tadi. Sementara barangku masih tegak berdiri, tetapi, karena mataku agak mengantuk maka kubiarkan saja dia bangun sendirian.

      Pagi-pagi sekali aku sudah dikerubuti kakak beradik, Aku tersadar ketika penisku sudah menghunjam lubang kenikmatan Purwanti. Sementara itu si Adik menciumi dadaku setelah itu menyodorkan susunya minta diemut. Kedua mereka belum pernah punya anak sehingga putting susunya masih tidak terlalu besar.

      Aku baru mengalami bahwa aku bisa kalah cepat bangun dibandingkan penisku. Sebab ketika aku bangun penisku sudah keras sehingga mampu masuk ke dalam sarang Purwanti. Purwanti kelihatan berusaha konsentrasi dengan permainannya sehingga dia lebih cepat mencapai orgasme. Begitu ambruk dan rebah di sampingku, posisinya digantikan oleh adiknya yang mengambil posisi WOT seperti kakaknya. Mungkin juga karena ada rasa sehati permainan mereka bisa semangat dan yang lebih penting mereka cepat mencapai orgasme.

      Sampai Purwani ambruk aku belum mencapai orgasme, aku berpikir perlu menghemat tenaga . Sebab jika aku orgasme di pagi ini badanku akan lemas dan sepanjang hari nanti bakal ngantuk melulu. Cahaya matahari pagi sudah mulai menerobos celah-celah jendela.

      Kakak beradik sudah terkapar dan kelihatannya mereka tertidur. Aku bangun keluar kamar dan menuju kamar mandi untuk bersih-bersih. Aku harus berterima kasih pada siapa pun yang punya gagasan mengganti minyak tanah dengan gas, sehingga dapur di desa yang jauh dari kota juga menggunakan kompor gas. Aku masak air di ceret lalu melihat persediaan makanan. Ada ikan asin, ada cabe hijau, bawang merah dan putih, dan tentunya terasi juga. Sedang aku di dapur muncul si mbah sambil bertanya kemana kedua anaknya. Aku katakan saja bahwa mereka belum bangun. Si Mbah bingung, karena kedua anaknya itu tidak biasa bangun kesiangan.

      Dia membantu aku mengupas bawang lalu menguleknya dan menggoreng ikan asin. Aku lalu membuat nasi goreng sambal hijau dengan taburan ikan asin goreng kering yang sudah dipotel kecil-kecil. Aku sengaja membuatnya pedas. Seharusnya kalau ada telor bisa dibuatkan telor mata sapi.

      Nasi goreng sudah siap tapi belum tersaji karena masih di kuali, dan air panas siap diseduh dengan kopi. Purwanti dan Purwani tergopoh-gopoh keluar kamar dengan hanya berkemben kain. Dia merasa malu, karena aku melakukan persiapan sarapan pagi, padahal seharusnya merekalah yang berkewajiban.

      “Wah mas e luar biasa sampai aku ama wani kesirep, “ kata Purwanti malu. Dia meminta aku duduk saja di depan dan untuk selanjutnya dia yang akan ambil oper pekerjaan mempersiapkan makan pagi. Aku dan John sempat jalan-jalan di dekat-dekat situ melihat sekeliling. Penduduk di situ ramah-ramah. Mereka menegur kami ramah. Aku tidak jalan jauh-jauh lalu kembali duduk di teras rumah dua kakak beradik.

      Sambil masih mengenakan kemben mereka menghidangkan nasi goreng ikan asin cabe hijau dan kopi tubruk. Mereka dan simbah ikut nimbrung makan. Kata mereka pedesnya pol, alias pedes banget, tapi enak. Si John yang tidak tahan pedes, terpaksa mencampur dengan nasi putih dingin.

      Sehabis makan kami istrahat sebentar lalu beriringan menuju sungai di balakang rumah. Kali ini aku mandi telanjang saja, karena memang tempatnya agak terlindung. Akhirnya kedua cewek itu pun ikut-ikutan mandi telanjang. John jadi terpaksa telanjang juga dia. Tidak terjadi insiden di sungai, kecuali saling meraba dan menyabuni. Air sungai yang dingin membuat kami harus cepat-cepat.

      Seperti yang mereka katakan kemarin, bahwa hari ini ada pasaran di kampung mereka. Wani menanyakan aku masih belum pulang hari ini. Aku jawab Iya.Dia lalu menanya kan aku ingin makan apa hari ini. Aku teringat masakan khas daerah perbatasan jawa timut jawa tengah adalah “ asem-asem balungan”. Ini masakan menggunakan daging kambing berkuah asam yang segar. Uniknya rasa asamnya diperoleh dari daun kedondong muda. Kata purwanti asem-asem adalah keahlian si mbah.

      Kami berempat jalan menuju pasar yang berjarak sekitar 10 menit dari rumah. Pagi itu pasar sudah ramai orang berjualan macam-macam, mulai dari bahan makanan mentah sampai makanan matang dan jajanan khas desa seperti, tiwul, gatot dan berbagai nama lainnya yang aku lupa sebutannya.

      Seharian itu kami menikmati masakan dan suasana keheningan desa yang damai dan tentram. Rasa nya tidak ada gairah ngesek, siang-siang. Karena selain udaranya panas, aku dan John sudah terlalu puas ngeseks selama ini. Malah sehabis makan siang aku ngantuk dan tertidur entah di kamar siapa. Mungkin John juga begitu.

      Cukup lama juga aku tertidur, karena ketika bangun jam ditangan sudah menunjukkan pukul 4 sore. ***



    2. Hari ini adalah hari kedua aku berada di desa yang jauh dari mana-mana, kota terdekat adalah Purwodadi yang jaraknya sekitar 20 km. Desa yang sepi ini punya daya tarik tersendiri yang khas. Ini sudah aku ceritakan di rangkaian cerita ini di bagian ke tiga.

      Aku menjelajah desa-desa berdua dengan temanku John. Namun dia hari ini akan mengakhiri petualangannya, karena ada telepon dari rumah yang mengabarkan orang tuanya dari kampung datang. Apakah alasan yang dikemukakan itu benar atau karangan saja, tidak perlu aku selidiki. Dari gerak tubuhnya dia memang sudah bosan dalam perjalanan ini. Dengan ojek dia kembali ke Purwodadi dan selanjutnya dia ke Semarang lalu terbang ke Jakarta.

      Kini aku sendirian di tengah pedalaman kampung kecil di Jawa Tengah. Meski aku mulanya tidak kenal siapa pun dan ini adalah kunjungan pertama kesini, tetapi aku merasa tidak asing lagi, karena ada penduduk yang menampungku dan memperlakukanku dengan ramah. Aku seperti bersaudara dengan mereka.

      Hari kedua aku di Kropak, ada kegiatan pasaran, sehingga suasana pasar cukup ramai. Hampir seluruh penduduk desa terutama yang wanita tumpah ke pasar pagi ini. Aku bersama kakak beradik Purwanti dan Purwani kami jalan-jalan cuci mata. Aku sudah mengepalkan sejumlah uang untuk mereka belanja seperti pesanan masakan yang kuinginkan, yaitu asem-asem balungan dari daging kambing.

      Meski tadi pagi aku sudah sarapan nasi goreng, tetapi karena “lapar mata” aku kemudian membeli jajanan khas kampung untuk sekedar icip-icip. Meski yang dibeli cuma sedikit, tetapi karena bermacam-macam, jadinya banyak juga.

      Purwanti berpapasan dengan seorang gadis yang berjalan dengan seorang yang sosoknya seperti ibunya, lalu mereka salaman dan berpelukan. Gadis itu memanggilnya bulik, berarti dia adalah anak dari kakak si Pur. Pakaiannya sederhana bahkan cenderung lusuh dan serampangan, rambutnya tidak modis sama sekali karena digelung. Tetapi aku menangkap gadis ini punya daya tarik yang kuat dan sesungguhnya dia ayu dan cantik, Mungkin karena kurang perawatan dan karena tinggal di kampung, jadi tidak ada tuntutan modis.

      Purwanti memperkenalkan denganku. Dia menyebut namanya Arwani, panggilannya wani. Kami akhirnya jalan berlima. Tidak ada yang dibeli oleh Wani dan ibunya, Aku membaca dari raut mukanya dia tidak punya uang untuk belanja. Purwanti kukepali uang yang menurut ukuranku di Jakarta cukup untuk belanja sehari dengan lauk ayam untuk satu keluarga . Uang itu lalu segera diserahkan ke Arwani. Mulanya dia terkejut dan berbasa-basi menolak, tetapi akhirnya mengucapkan “ Terima kasih ya Oom”.

      Benar juga setelah itu dia jadi aktif berbelanja. Kami kemudian berpisah dan aku di rumah Purwanti menikmati jajanan ku tadi. Sementara itu kedua Pur sedang sibuk di belakang menyiapkan masakan.

      Ketika kami bersiap menikmati masakan asem-asem balungan, muncul anak cantik yang terpendam di desa, si Arwani. Dia dengan sepeda datang membawa bungkusan plastik. Ketika dibuka isinya adalah botok, masakan khas jawa yang terbuat dari kelapa dibungkus daun pisang dan dikukus. Menurut Wani itu adalah botok sembukan. Makanan yang sudah lama sekali tidak kunikmati. Si Wani malu-malu dan menolak ketika diajak makan bersama, tetapi akhirnya luluh juga dan kami sama sama menikmati asem-asem balungan yang memakai daun kedondong muda. Pintar juga kedua Pur ini memasaknya sehingga rasa asam dan pedas cabe hijaunya pas.

      Selepas makan, badanku berkeringat sehingga aku memilih duduk di depan sendiri berangin-angin. Wani kelihatannya membantu Pur-pur membersihkan bekas makanan siang kami. Tak lama kemudian si Wani minta izin kembali pulang ke rumahnya.

      Menurut Purwani, rumah si Wani lumayan jauh, kalau naik sepeda sekitar 15 menit an. “Mas si Wani minta dicarikan kerjaan, bapaknya kan sakit, jadi keluarga itu tidak ada yang menafkahi. “ kata Purwanti.

      “Dulu dia punya suami tapi ya gitulah orang desa, jadi karena tidak sanggup menjadi sumber pemberi nafkah, akhirnya kabur dan cerai,” kata Purwanti. Menurut Pur si Wani kawin masih sangat muda mungkin masih sekitar 15 tahun. Dia ingat pada waktu itu baru lulusan SMP langsung kawin. Belum setahun sudah pisah.

      “Kalau mas e berminat ntar saya kasih tau, gimana ?” tanya Purwanti.

      Aku menerima tawaran itu tentu saja sejujurnya susah nolak. Tapi rasanya kan nggak enak juga sudah menggauli Purwanti dan Purwani bahkan tinggal di rumah mereka, lalu aku akan bermain pula dengan kenalan baru yang adalah keponakan mereka.

      “Mas e kalau minat, kita ndak apa-apa kok, itung-itung saya nolong keponakan sendiri, biar si purwani nyiapke kamar e dan aku sebentar lagi jalan ke rumahnya,” kata Purwanti.

      Aku tidak bisa berkomentar apa pun, serba salah rasanya mau bicara, mau nolak rasanya padahal ingin juga, mau nerima rasanya rikuh pula.

      Aku berdua ngobrol dengan Purwani, dia menceritakan betapa beratnya kehidupan keluarga Arwani. Sejak orang tuanya sakit, maka ibunya dan arwani yang berusaha mencari nafkah dengan mengerjakan apa pun yang bisa menghasilkan. Aku mendengar cerita Purwani sambil pikiranku menerawang. Orang-orang desa yang sederhana ini dalam kehidupan yang serba pas-pasan, jika tulang punggung keluarganya terkena penyakit berat, maka kemiskinan siap menerkam mereka.

      Entah berapa lama kami ngobrol berdua sampai muncul dua sepeda. Sepeda pertama dikendarai Purwanti, dan yang kedua Arwani membonceng wanita yang kelihatannya agak tua. Aku kemudian diperkenalkan bahwa wanita itu adalah ibunya Arwani. Wanita yang berusia menjelang 40 tahun. Bekas kecantikannya masih terlihat, tetapi karena kurang terurus jadi kelihatan seperti wanita desa biasa.

      Ibunya lalu minta ke aku agar anaknya dicarikan kerjaan di Jakarta. “Biarlah dia kerja di Jakarta dari pada di kampung nggak ngapa-ngapain,” kata si ibu.

      Pikiranku bukan soal kerjaan apa yang cocok, tetapi bagaimana menempatkan Arwani di Jakarta. Aku tidak bisa berkonsentrasi, karena harus meladeni pembicaraan. Sementara itu Arwani duduk tertunduk malu. Kuperhatikan, Arwani menyimpan potensi yang luar biasa. Dilihat rambutnya, cukup lebat dan lurus sebahu. Wajahnya ayu hidungnya cukup mancung lancip, dagunya sedikit terbelah, bibirnya tidak terlalu tebal, tetapi sensual, alisnya tidak terlalu tebal, leher jenjang kulitnya lumayan putih untuk ukuran orang desa. Nah teteknya kelihatannya agak melawan juga, karena baju longgar seperti daster masih ketendang sama susunya, sehingga menyembul.

      Tingginya lumayan saya taksir sekitar 165 cm dan badannya tidak gemuk pula. Yah badan-badan anak teenager, tetapi cukup berisi dan yang saya kagum dia memiliki body dengan pinggang mengecil dan pantat agak menonjol. Sempurna sekali cewek desa ini. Kalau aku tolak sayang-sayang, ini adalah asset yang sangat berpotensi jadi Miss Indonesia.

      Si Purwanti bisik-bisik sama ibunya Arwani. “Ya sudah biar saja si Wani nginap di rumah buliknya biar ajar kenal lebih dekat sama si oomnya, kan mau diajak kerja ke Jakarta,” kata si ibu.

      Setelah kami ngobrol lagi, si Ibu pamit dan dia mengendarai sepedanya sendiri pulang ke rumah. Hari mulai sore, saatnya untuk mandi sore ke sungai di belakang rumah. Kami berempat lalu beriringan menuju tepian sungai.

      Seperti biasa kami mandi dengan basahan, aku mengenakan celana boxer, sedang cewek-cewek mengenakan kemben. Dibalik kemben itu tercetak jelas, bahwa Arwani memiliki payudara ukuran yang cukup besar.

      Tidak ada insiden, kami mandi seperti biasa dan Arwani makin berkurang rasa segannya kepadaku. Ternyata dia termasuk yang banyak bicara, alias cerewet juga.

      Selepas mandi, sesampai kami dirumah, aku disuguhi kopi panas dan singkong rebus. Tidak lama kami bercengkerama, hujan deras turun. Purwani menggiring aku dan Arwani memasuki kamarnya. Ternyata kamarnya sudah rapi, Si Arwani disuruh Purwani memijat diriku. Dengan malu malu, jalan sambil menunduk Arwani yang mengenakan kaus oblong dan jarik. Setelah kami duduk di tepi ranjang Purwani keluar dan menutup pintu. Suasana pada mulanya agak kaku. Aku lalu mengajak Arwani berbaring bersebelahan denganku.

      Rikuh juga aku memulainya, seperti menghadapi perawan, padahal ini janda, tapi masih muda. Akhirnya kuminta Arwani memijat. Dia mau tetapi beralasan, kurang mahir memijat. Aku lalu berjanji menuntunnya agar nanti pijatannya enak.

      Dia mulai memijat kakiku dalam posisi aku telungkup. Sebetulnya dia lumayan mahir juga, tetapi aku tetap memberinya petunjuk. Sementara suara gemuruh dan hujan deras diluar membuat kami semakin romantis. Namun aku masih merasa agak sulit memasuki gerbang kemesraan.

      Aku kemudian beralasan memberi contoh bagaimana cara memijat dan menekan titik-titik syaraf dan otot yang akan memberi kenikmatan. Mulanya Arwani segan, sehingga menolak aku pijat, tetapi setelah aku bujuk berkali-kali akhirnya dia nyerah juga. Dia tidur telungkup. Aku memulai dari pijatan di telapak kaki. Di sana ada beberapa titik yang kalau ditekan akan berasa sakit, ada juga yang membangkitkan birahi. Aku memijatnya selang-seling antara yang nikmat dan yang agak sakit.

      Dari telapak kaki naik ke betis, maka terkuaklah betisnya yang langsing dan putih melepak. Telapak kakinya agak kasar karena mungkin dia sering tidak mengenakan alas kaki. Maklum orang desa. Jariknya aku singkap sampai lutut dan aku memijatnya dengan tekanan yang memberi kenikmatan dan meningkatkan gairah aku melumuri betisnya dengan hand and body lotion, sehingga licin. Setelah kedua betis, lalu tanganku menjalar ke atas tanpa menyingkap jariknya. Tanganku menelusuri pahanya dan melumuri dengan hand and body lotion. Pijatan dan tekanan di bagian paha terutama di bagian paha sisi dalam memberi rangsangan yang sangat tinggi bagi wanita. Oleh karena itu dia tidak mempedulikan ketika jariknya perlahan lahan tersingkap.

      Akal sehatnya sudah mulai berkurang karena sebagian sudah dirasuki birahi. Celana dalamnya terlihat kumal terbuat dari kain katun. Jadi ada beberapa celah yang memberi pemandangan ke bagian dalam celana itu. Aku terus memijat dan menelusuri daging pejal pantatnya. Badannya terangkat angkat karena pengaruh nikmat birahi. Jariku mulai nakal menyentuh pinggir daging vaginanya, tetapi tidak sampai masuk ke celah. Wani sudah tidak peduli hartanya mulai terjamah oleh tanganku. Dia sudah “high”.

      Jariku masuk ke celah yang ternyata sudah berlendir. Dia tidak menolak ada benda asing berada di celah kemaluannya. Jariku mengorek-ngorek celah itu dan mencari posisi clitorisnya. Dia terjingkat-jingkat ketika clitorisnya aku usap-usap.

      Pelan-pelan celana dalamnya aku turunkan. Wani pasrah saja dan menuruti ketika aku lucuti. Dia pun melemaskan badannya ketika kuputar sehingga berposisi telentang. Matanya aku tutup dengan handuk kecil setelah itu aku mulai mengerjai clitorisnya. Pinggulnya makin berjingkat-jingkat jika jariku mengenai ujung clitorisnya. Sekitar 5 menit aku mainkan clitorisnya sampai akhirnya dia mencapai orgasme.

      Ketika terasa vaginanya berkedut, aku langsung memeluknya dan menciumi pipi dan keningnya. Wani pasrah saja. Dia pun pasrah ketika bajunya kubuka perlahan lahan dan akhirnya BHnya pun terlepas. Wani sudah telanjang bulat.

      Aku terkagum oleh bodynya yang luar biasa. Gumpalan susunya masih tegak menggumpal dan cukup besar untuk wanita seumurnya. Belakangan aku tahu dia mengenakan BH ukuran 36 cup C. Itupun tidak semua daging teteknya tertampung karena sebagian masih luber.

      Pentilnya masih kecil, karena dia belum pernah hamil. Tanpa melepas moment yang bagus aku menjilati dan menghisap ujung payudaranya sambil yang sebelah aku remas perlahan-lahan . Wani sudah pasrah tanpa perlawanan. Perutnya masih rata dan yang aku kagumi adalah pinggangnya yang mengecil dan pinggulnya yang melebar. Bulu kemaluannya masih belum lebat. Aku ciumi perutnya lalu perlahan lahan turun dan akhirnya sampai ke bagian kemaluannya.

      Arwani seperti tersadar ketika kemaluannya aku ciumi. “ Oom jangan oom aku malu dan jijik oom,” katanya.

      Tentunya aku tidak bisa bicara, karena aku segera membuka kedua kakinya dan mulutku langsung membekap celah vaginanya. Kepalaku awalnya didorong untuk menjauhi vaginanya, tetapi ketika lidahku menyentuh clitorisnya dia menggelinjang dan lupa akan tugas tangannya yang mencegah aku menjilati kemaluannya. Dia semakin larut pada arus kenikmatan sampai akhirnya menjerit lirih karena orgasmenya .

      Beberapa saat setelah orgasme aku langsung menancapkan senjataku ke lubang kenikmatan sampai kandas. Terasa mencekam lubang vaginanya. Aku lalu memompanya perlahan-lahan. Karena ketatnya lubang vagina itu, tidak sampai 5 menit aku sudah nembak spermaku di dalam vaginanya. Aku rasa dia belum mencapai orgasme melalui hubungan sex itu.

      Aku biarkan sebentar sampai penisku menciut sampai akhirnya keluar sendiri dari sarang kenikmatan. Meski diluar hujan masih deras, tetapi aku merasa udara jadi gerah. Kami berbaring telanjang berdampingan.

      Tidak sampai 10 menit, penisku sudah bangkit lagi dan minta disarangkan di lubang nikmat. Tanpa memperdulikan apakah Arwani sudah siap atau belum aku langsung menungganginya kembali. Penisku relatif lebih licin masuk ke celah vaginanya. Namun cengkraman lubang kenikmatannya tidak berkurang nikmatnya. Aku terus menggenjot sambil mencari posisi nikmat. Pada ronde kedua ini permainanku cukup lama. Arwani sempat mencapai orgasme sekali berikutnya aku mencapainya.

      Beberapa saat kami menyelesaikan permainan dari luar terdengar suara yang meminta kami untuk makan malam. Aku mengenakan baju kaus oblong lalu bersarung tanpa mengenakan celana dalam dan Arwani mengenakan lilitan jarik, menggunakan atasan, tetapi aku cegah dia mengenakan BH. Dia awalnya merasa malu, tetapi setelah aku bujuk dia akhirnya mau menerima.

      Aku keluar kamar diikuti Arwani, Aku langsung menuju kamar mandi di belakang dekat dapur untuk membersihkan kelaminku dari lumuran sperma dan cairan vagina Arwani. Setelah selesai Arwani bergantian masuk ke kamar mandi. Aku sengaja tetap berdiri di dekat pintu kamar mandi memperhatikan Purwani sedang menyiapkan hidangan. Dari dalam kamar mandi terdengar desiran pancaran kencing Arwani yang cukup nyaring.

      Hujan belum reda meski pun tidak sederas semula. Kami makan dengan menggelar tikar di bawah. Rasanya nikmat sekali makan dengan duduk bersila mengelilingi hidangan di tengah. Suasana sejuk karena hujan, dilawan oleh hangatnya asem-asem balungan yang panas dan agak pedas.

      Selepas makan malam yang amat nikmat aku duduk di teras dimana terdapat bale-bale. Aku menyaksikan derasnya hujan dan sesekali kilat menerangi rimbunnya halaman depan rumah di pedesaan. Tak lama kemudian menyusul 3 wanita mengerubungi ku. Aku sudah seperti raja minyak dengan 3 istri yang siap melayaniku di ranjang. Mereka semua manja-manja mendekat dan duduk di sekitarku. Kami ngobrol “ngalor -ngidul” artinya tanpa fokus.

      Purwanti membuka pembicaraan dengan mengatakan bahwa malam ini kami berempat tidur bersama-sama di kamarnya. Aku sejujurnya sudah tidak bergairah lagi bermain di ranjang, karena selama dua hari ini sudah terlalu banyak “bermain”.

      Aku disodori jamu godokan, yang katanya untuk menambah kesehatan laki-laki. Rasanya agak pahit, tapi aku telan semua lalu meminum sisa kopi trubruk. Sepuluh menit setelah itu badanku mulai terasa panas, sehingga tidak merasa sejuknya suasana hujan malam. Bukan itu saja, senjataku perlahan-lahan bagun pula, meskipun tidak bangun terlalu mengeras, tetapi cukup berisi lah.

      Sekitar jam 10 malam, kami berempat masuk ke kamar Purwanti. Di kamarnya digelar dua kasur lebar di lantai. Mereka jika tidur hanya menggunakan kemben dari kain batik. Si Wani juga begitu. Aku tidak merencanakan apa-apa menghadapi 3 perempuan ini. Aku akan pasrah saja apa yang akan mereka lakukan terhadapku.

      Mereka rupanya berinisiatif memijatku secara bersamaan bertiga, Seluruh pakaianku dibuka kecuali celana dalam dan posisiku telungkup. Terasa setiap bagian yang memijatku berbeda-beda, ada bagian kaki kiri, ada bagian kaki kanan dan ada bagian tubuh.

      Nikmat sekali menjadi suami beristri tiga sekaligus yang rukun dalam satu ranjang. Mereka semua patuh-patuh dan melayani dengan sepenuh hati. Tidak ada yang ingin menguasai. Seandainya aku mempunyai istri-istri yang begini, nikmat sekali kehidupan rumah tanggaku.

      Mungkin mereka akur dan rukun karena masih baru, jika sudah lama-lama bisa saja timbul rasa saling iri dan berprasangka yang keliru.

      Sambil dipijat kami mengobrol. Dari obrolan itu Wani menyebutkan dia masih mempunyai adik yang baru lulus SD. Sudah setahun nganggur, tidak sekolah karena alasan tidak ada biaya. Meskipun sekolah gratis, tetapi bagi orang desa tetap merasa berat membiayai transport, uang jajan, baju dan berbagai kelengkapan sekolah.

      Seketika itu aku tawari untuk ikut ke Jakarta, untuk menemani kakaknya tinggal di Jakarta. Wani merasa senang lalu menciumi ku. Ternyata dia bertugas memijat tubuhku bagian atas. Jangan berpraduga bahwa kelak aku akan ngembat adiknya juga. Sejujurnya pada waktu itu aku hanya merasa kasihan saja. Mereka berdua akan aku sewakan apartemen studio di Jakarta dan keduanya akan kuusahakan melanjutkan sekolah.

      “Jangan seneng-seneng dulu, anaknya belum tentu mau, dan mbok mu juga belum tentu mengizinkan,” kataku sambil bertelungkup.

      Bosan telungkup aku berbalik telentang. Celanaku menggelembung. Si Purwanti langsung saja menarik celanaku sehingga aku bugil. Tanpa basa-basi dia menggenggam penisku yang memang sudah menegang. Tangannya mengocok perlahan-lahan.

      Tak puas mengocok lalu dia mulai mengulumnya. Aku pasrah saja, sementara itu si adik Purwani memijat-mijat kaki kiriku dan Arwani memijat tangan kananku sambil duduk termangu melihat aksi nekat buliknya mengulum penisku.

      Lama juga dia mengulum penisku yang sudah semakin menegang, sehingga dia lelah. “ Ayo do dibuka kabeh, mesakne si oom e wudo dewe,” kata si Purwanti yang artinya kira-kira ayo kita telanjang semua, kasihan si oom telanjang sendiri.

      Purwani berdiri lalu membuka kembennya dan di dalamnya masih ada celana dalam lalu ia plorot kan. Kini dia sudah bugil. Suasana cahaya kamar agak remang-reman sehingga tidak jelas betul detil body mereka satu-persatu. Si Arwani dengan gerakan malu-malu melepas kembennya dan celana dalamnya, dia pun kelihatan bugil. Purwanti berdiri melepas kuluman di kontolku lalu melepas semua bajunya. Kontolku dilahap adiknya si purwani. Arwani kutarik dan kuciumi susunya yang sangat tebal, kenyal dan besar. Aku bergantian menyedot pentilnya, sambil tanganku meraih selangkangannya memainkan clitorisnya.

      Aku tidak jelas siapa yang melakukan, karena merasa penisku sudah tenggelam di satu memek. Dia langsung bermain cepat dan dari suaranya aku mengenali bahwa itu adalah suara Purwanti. Dia bergoyang dan asyik sendiri. Diaturnya sendiri posisi nikmatnya sampai akhirnya dia berhenti dan berasa denyutan di memeknya yang mencengkeram penisku. Aku tidak merasa terlalu nikmat, biasa saja. Selepas itu aku merasa Purwanti berdiri lalu posisinya digantikan Purwani. Dia bergerak dengan penuh perasaan, tetapi diiringi dengan rintihan nikmat. Tampaknya Purwani berusaha konsentrasi menikmati senggama denganku. Badannya penuh keringat karena dia sudah menderaku lebih dari 10 menit. Gerakannya lalu makin cepat dan akhirnya dia merintih bersamaan dengan denyutan di liang vaginanya.

      Purwani ambruk di sebelah kakaknya. Aku lalu mengarahkan si Arwani mengambil posisi sama dengan buliknya. Dia menuruti saja dan dengan bantuan tangannya mengarahkan penisku masuklah ke dalam lubang kenikmatannya. Vagina miliknya memang berbeda jepitannya. Hanya saja dia belum mahir bermain diatas, sehingga gerakannya masih kaku. Namun rasa nikmat rupanya yang menuntun ritme gerak dan memperbaiki posisinya. Tanpa sadar dia mengerang sambil seperti mengaduk memeknya di kontolku.

      Sementara itu aku menikmati pemandangan guncangan buah dadanya yang besar. Aku meremas-remas dengan kedua belah tanganku. Meski pun dalam keremangan tetapi aku bisa jelas melihat bentuk payudaranya yang nyaris sempurna. Akhirnya dia menjerit, dan ini kali agak keras pula sehingga kedua buliknya terjaga. “ Wani edan mbengok-mbengok dewe,” kata Purwani. Maksudnya, gila si wani menjerit-jerit sendiri.

      Sampai 3 wanita itu orgasme aku sama sekali maih jauh dari puncak kenikmatanku. Tapi aku malas untuk bermain di atas terhadap salah satu dari mereka, sehingga aku biarkan saja penisku tetap tegang sementara ke tiga perempuan itu sudah terbaring kelelahan di dera orgasmenya sendiri. Mungkin ini pengaruh dari jamu yang aku minum tadi, dia selain mempercepat ereksi dan mempertahankannya sehingga tetap keras, juga seperti membuat penisku imun yang membuatnya mampu bertahan lama.

      Untuk mengendorkan tegangan di penisku aku bangkit dengan mengenakan sarung dan oblong, keluar kamar mereguk segelas air putih dan ke kamar mandi melepaskan sebagian cadangan air seni. Lalu mencuci seputaran penisku. Benar juga penisku agak mengendur. Aku kembali ke kamar dan melihat hamparan wanita bugil tidur sesukanya.

      Pagi harinya aku terbangun karena merasa ada yang bermain kuda-kudaan di atasku. Ternyata dia adalah Arwani, sementara itu yang lain sudah tidak terlihat. Aku berkonsentrasi sampai arwani mencapai orgasmenya dan segera aku balikkan posisi. Sekarang giliran aku menggenjotnya sampai akhirnya aku mampu melepaskan sperma.

      Setelah itu kami bersama-sama menuju sungai mandi sambil bersenda gurau. Terasa tidak ada jarak diantara kami demikian juga diantara mereka. Nikmat sekali rasanya mandi bagai dikelilingi 3 istri yang rukun dan akur.

      Hari itu aku berencana meninggalkan desa Kropak. Arwani sudah memutuskan untuk ikut denganku ke Jakarta, tetapi dia masih ingin bicara dengan keluarganya mengenai rencana memboyong adiknya juga. Arwani meminjam sepeda Purwanti pagi itu pulang ke rumahnya. Sedang kami masih mempersiapkan sarapan pagi. Purwanti pagi itu menyiapkan sarapan tiwul yang berwarna coklat dan rasanya agak manis dengan parutan kelapa, serta cenil. Katanya dia beli di warung yang memang selalu menjual jajanan setiap pagi.

      Aku sudah siap berangkat, tetapi masih menunggu Arwani. Purwani mengambil inisiatif agar kami mendatangi rumah Arwani dengan menggunakan ojek. Dua sepeda motor sudah datang dan aku dibonceng sendiri, sedang Purwanti dan Purwani bertiga dengan tukang ojeknya meluncur ke rumah Arwani.

      Kesan pertama ku melihat rumah keluarga Arwani adalah mengenaskan. Rumahnya terdiri dari dinding anyaman bambu, sangat sederhana, ketika masuk ke dalam rumahnya yang tidak terlalu besar, lantainya diperkeras oleh semen. Tidak ada barang berharga yang berarti di dalam rumahnya, kecuali TV 12 inci. Arwani dan ibunya menyambutku lalu seorang bapak tua datang pula menyalamiku, Dia adalah bapak si Arwani, lalu datang gadis kecil menyalamiku dan mencium tanganku. Dia adalah adik Arwani memperkenalkan diri dengan menyebut namanya Rachmawati.

      Adiknya juga berwajah manis ayu, umurnya kutaksi masih sekitar 13 tahun. Arwani menyatakan bahwa ibunya setuju melepas Rachma ikut dengan Arwani ke Jakarta. Si gadis kecil itu pun mengangguk ketika kutanya tentang akan ke Jakarta.

      Mereka bersiap-siap-siap sejenak dan keluar dengan baju yang rapi, meskipun masih terpancar kesederhanaan. Mereka membawa satu kardus bekas mi instan. Semua pakaian mereka dibawa dalam kardus itu. Aku mengelus dada melihat kemiskinan nyata di depanku. Aku jadi berandai-andai, mungkin jika aku makan di restoran Jepang di Jakarta, nilai uang yang harus kubayar bisa untuk mereka hidup sebulan.

      Aku membuka tas ranselku, di tempat tersembunyi masih ada sisa uang di situ. Uang itu masih satu gepok di dalam amplop. Dengan disamarkan bungkusan koran aku serahkan segepok uang seratus ribuan ke ibunya. Ibunya memegang bungkusan itu, menerimanya lalu dia memelukku dan menangis di dadaku. Padahal dia tidak tahu berapa nilai uang yang aku berikan, tetapi tangannya sudah meraba bahwa uang yang aku berikan terasa tebal.

      Tukang ojek yang akan membawaku dan Arwani serta adiknya sudah menunggu di depan. Kami bersalaman dan Purwanti serta Purwani memelukku sambil melelehkan air mata. Mereka menuntut agar aku harus datang kembali ke rumah mereka.

      Perjalanan pulang memang tidak terasa lama. Kami sudah berada di terminal bus Purwodadi Grobogan. Bergegas kami bertiga menuju bus yang siap berangkat ke Semarang. Lumayan cepat juga, karena belum 3 jam bis sudah tiba di Semarang. Aku tidak turun di terminal, tetapi di jalan di dalam kota Semarang, dimana banyak penumpang turun disitu. Kami bertiga mencegat taksi dan meminta sopir mengantar ke sebuah hotel di Simpang lima

      Bagi Rachma ini adalah perjalanannya pertama ke Semarang, tetapi Arwani sudah 3 kali katanya ke semarang, meski yang terakhir sudah lama sekali. Untung kami dapat room di Hotel yang berada di wilayah Simpang Lima Semarang, Sebuah kamar Executive.

      Setelah bellboy yang mengantar kami keluar, aku membrief mereka berdua mengenai berbagai fasilitas di kamar, mengenai AC, kunci kartu magnetik, menghidupkan dan mengatur siaran tv. Setelah itu aku berpindah ke kamar mandi, mengenai bagaimana menggunakan semua fasilitas di kamar mandi itu. Aku agak terperanjat juga karena salah satu dinding kamar mandi hanya dibatasi oleh kaca buram. Jadi siapa pun yang berada di dalam kamar mandi akan terlihat dari tempat tidur, meski pun tidak jelas benar, tetapi tetap saja terlihat ketika sudah telanjang.

      Setelah kami menyegarkan diri dengan minum di mini kulkas, kami memutuskan turun dan menuju pusat perbelanjaan. Aku berniat mendadani mereka berdua agar lebih modis. Mereka agak canggung memilih pakaian mereka sendiri. Aku pun sebenarnya kurang paham mengenai pakaian wanita. Dengan mereka-reka saja aku memilihkan mereka masing-masing 2 celana jean, kaus oblong, tank top, celana pendek, daster, sepatu, sendal, sepatu kets, pakaian dalam beberapa stel. Nah mengenai pakaian dalam ini aku tidak bisa memberi saran. Aku hanya berpesan kepada SPGnya agar mereka membantu memilihkan untuk kedua anak cewek itu.

      Setelah tentengan berat di kiri dan kanan, kami kembali ke hotel. Mereka membereskan belanjaannya dan melipat serta memasukkan ke traveling bag masing masing yang baru. Sementara itu aku mandi menyegarkan tubuh dan berendam di bath tub. Hampir setengah jam aku berendam dengan air hangat dan badan sudah terasa segar kembali serta rasa lelah menjadi hilang. Giliran mereka aku suruh mandi. Mereka agak malu-malu terutama si Rachma. Akhirnya mereka berdua masuk kamar mandi. Sebelumnya aku sudah arahkan mereka agar tetap menjaga lantai kamar mandi tetap kering.

      Dari kaca buram aku menyaksikan keduanya mandi dengan shower di bak bath tub. Meski tidak terlalu jelas, tetapi aku mendapatkan pandangan shiluet.

      Mereka keluar dengan baju barunya, celana jeans dan kaus merah serta pink. Meski bajunya sudah modis, tetapi tetap saja mengesankan tampang ndesonya. Kami turun kembali dan menuju mall. Tujuanku pertama adalah salon, untuk menata rambut mereka.

      Sekeluar dari salon baru muncul kecantikan sesungguhnya dari mereka. Karena sudah terlalu lapar kami kemudian mencari makanan yang kiranya cocok. Agar memudahkan kami menuju gerai fried chicken.

      Kedua mereka memang sudah kelihatan modis, dengan baju yang selaras, tas kecil, hanya make upnya yang belum ada. Untuk itu aku kurang ahli, nanti saja di Jakarta mungkin lebih pas.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Obat aborsi Obat Telat Bulan Obat Pelancar Haid atau Obat penggugur Kandungan dalam bentuk paket, terdiri dari 2 jenis paket yang bisa anda pilih. Paket standar yaitu memakai obat cytotec saja dengan tingkat keberhasilan sekitar 90%. Paket tuntas yaitu memakai 2 jenis obat penggugur kandungan mefirex dan cytotec (standar fda) dan pil pembersih, dengan tingkat keberhasilan sekitar 98%.

Hotline : 087833877381 - 085345283801
Bb Messenger : 2394A670
Wabsite Kami : http://aborsituntas01.blogspot.com/
Harga Obat Aborsi Murah
Harga Obat Aborsi Usia 1 Bulan :

Untuk usia 1 bulan dihitung dari tanggal terakhir menstuasi.
Obat aborsi 1 bulan isinya adalah cytotec asli pfizer usa / gastrul (misoprostol
200mcg) untuk paket standar.
Untuk paket tuntas berisi cytotec
asli pfizer usa / gastrul (misoprostol 200mcg) ditambah tablet mifeprex
(mifepristone 200mg) dan tablet obat pembersih.

Standar : Rp. 500.000,- (misoprostol cytotec/gastrul)
Tuntas : Rp. 750.000,- (mefirex + cytotec + pembersih)

__________________________________________________
Harga Obat Aborsi Usia 2 Bulan :

Untuk usia 2 bulan dihitung dari tanggal terakhir menstuasi.
Obat aborsi 2 bulan isinya adalah cytotec asli pfizer usa / gastrul (misoprostol
200mcg) untuk paket standar.
Untuk paket tuntas berisi cytotec
asli pfizer usa / gastrul (misoprostol 200mcg) ditambah tablet mifeprex
(mifepristone 200mg) dan tablet obat pembersih.

Standar : rp. 750.000,- (misoprostol cytotec/gastrul)
tuntas : rp. 1.000.000,- (mefirex + cytotec + pembersih)

______________________________________________________
Harga Obat Aborsi Usia 3 Bulan :

Untuk usia 3 bulan dihitung dari tanggal terakhir menstuasi.
Obat aborsi 3 bulan isinya adalah cytotec asli pfizer usa / gastrul (misoprostol
200mcg) untuk paket standar.
Untuk paket tuntas berisi cytotec
asli pfizer usa / gastrul (misoprostol 200mcg) ditambah tablet mifeprex
(mifepristone 200mg) dan tablet obat pembersih.

Standar : rp. 1.000.000,- (misoprostol cytotec/gastrul)
tuntas : rp. 1.300.000,- (mefirex + cytotec + pembersih)

______________________________________________________
Harga Obat Aborsi Usia 4 Bulan :

Untuk usia 4 bulan dihitung dari tanggal terakhir menstuasi.
Obat aborsi 4 bulan isinya adalah cytotec asli pfizer usa / gastrul (misoprostol
200mcg) untuk paket standar.
Untuk paket tuntas berisi cytotec
asli pfizer usa / gastrul (misoprostol 200mcg) ditambah tablet mifeprex
(mifepristone 200mg) dan tablet obat pembersih.

Standar : rp. 1.500.000,- (misoprostol cytotec/gastrul)
tuntas : rp. 2.000.000,- (mefirex + cytotec + pembersih)

http://aborsituntas01.blogspot.com/

jangan terpengaruh harga murah !!! Kami jual obat aborsi ampuh yang benar-benar efektif dan telah dipakai di banyak negara karna kualitas dan keamanannya terjamin sehingga disetujui pemakaiannya oleh fda di amerika.

jabareikahn mengatakan...

Casino Wylde, Michigan: 15 restaurants, 2 bars - Mapyro
Casino Wylde, Michigan. 안성 출장안마 15 restaurants, 안양 출장샵 2 bars, 고양 출장마사지 1826 계룡 출장마사지 S. 제주 출장샵 Springhill Blvd, Springhill, MI 39530.

Posting Komentar

 
;